Cerita ini berawal dari sebuah pertemuan dua remaja yang sama sekali tidak terbayangkan. Kedua insan tersebut sama-sama berada di satu atap.
Tapi nyatanya semua orang pasti memiliki luka yang terdalam, luka yang sulit disembuhkan, luka yang membekas...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Entah akan menetap atau hanya sementara?"
_Senandika Zensia_
•|°°°|•
Bel pulang berbunyi. Para murid mulai berhambur keluar turun dari tangga dengan raut sumringah walau terpatri sedikit muka lelah payah.
"Ra? Lu pulangnya naik apa?" Lynia bertanya sembari mengemas peralatan sekolah yang ada di atas meja. Ia memasukkan rapi ke dalam tas ransel.
"Gue pakai taksi online."
Dahi Lynia berkerut. "Nggak sama nyokap?"
Rasyil menutup resleting ransel, lalu ia pindahkan ke punggung belakang. "Nggak. Mamah sama papah lagi dinas bareng di luar kota. Nggak tau berapa lama, tadi pagi mereka sempet pamitan sama gue."
"Yuk, Lyn."
Rasyil langsung mengajak Lynia yang hanya mengikuti setelah barangnya dikemasi rapi.
"Kalau lu mau ... gue bisa anter lo sampai ke rumah, bareng sama Asfa, gimana?" tanya Lynia menawarkan. Keduanya berjalan seiring, menyusuri lorong sepi.
"Nggak usah. Lagian, kalian berdua mau naik apa? Taksi, 'kan? Sama aja yaelah," jawab Rasyil menoleh sekejap.
"Jalan kaki lah, bego. Sekali-kali naik sepatu bareng."
Lynia menyelanya dengan akal di luar nalar. Rasyil berdehem pelan, menuruni anak tangga satu-persatu. Saat pijakan terakhir, mereka menengok serempak. Asfa sudah menunggu di serambi depan. Yang awalnya duduk, ia segera berdiri melambaikan tangan.
"Rasyil! Lynia!" seru Asfa. Merasa keduanya terpanggil, langsung saja mendekati.
"Cepet banget keluar kelasnya."
Asfa tertawa kecil. "Iya, kelas gue memang duluan yang pulang. Aslinya mau nunggu di depan pintu kelas kalian, tapi nggak jadi," tuturnya. Ketiga siswi itu berjalan pelan menuju gerbang yang terbuka lebar.
"Lah? Kenapa nggak jadi?" tanya Rasyil menoleh ke Asfa. Ia menatap sejenak, tetapi tidak menjawab.
Rasyil langsung teringat lalu berkata lagi, "Oh ... nungguin kita do'a? Nggak apa-apa kali, lo nunggu di balkon. Do'a rutinan pulang kelas IPA 1 itu cepet banget, kayak kereta lewat. Langsung wushhh nggak ada kata macet."
Lynia langsung menyikut pelan lengan Rasyil untuk menghentikan.
"Nggak klemar-klemer," imbuh Rasyil sedikit berbisik ke kuping Lynia.
"Apa? Lo lagi nyindir gue? Lagian, ya ... ada benarnya juga kalau do'a itu harus pelan teratur, nggak bisa dipercepat. Memangnya video yang bisa diskip gitu aja. Sekelas emang nggak ada yang bener kalau dibilangin." Lynia mendengus kesal.