DUA BELAS

8 3 0
                                    

"Salahkah jika kita terlanjur jatuh cinta kepada orang yang bahkan belum selesai dengan masa lalunya?"

•••

Hari ini, Elbiru, Berlian, Aletta, Shaka, Azka, Jenifer, dan juga anggota ekskul musik lainnya, akan melakukan proses rekaman.

"Siap ya? satu... dua... tiga!!" Jenifer menginstruksi kelima orang yang berada di hadapannya.

Mereka berlima sudah siap dengan recorder masing-masing. Sementara Jenifer, ia memberi aba-aba kepada mereka.

Petikan gitar milik Elbiru mulai terdengar. Disusul oleh petikan bass milik Shaka. Lantunan lagu yang dinyanyikan oleh Berlian dan juga Aletta sangat menyentuh hati. Mereka melakukannya dengan sangat baik.

Saat ini, mereka sudah selesai dengan aktivitas rekaman tersebut. Berlian memutuskan untuk ke kantin sebentar bersama Aletta karena ia merasa haus. Setelah mendapatkan izin dari Elbiru, Berlian segera melenggang pergi bersama Aletta menuju ke kantin. Suasana kantin terbilang cukup sepi, karena ini merupakan jam pelajaran.

Langkah Berlian terhenti kala netranya menangkap sosok lelaki yang sangat familier. Matanya menyipit untuk dapat melihat lebih jelas postur tubuh laki-laki itu. "Yeziel?" gumamnya.

Aletta yang sejak tadi berdiri di samping Berlian pun turut melihat ke arah yang Berlian lihat. Matanya membelalak kaget melihat laki-laki yang tak lain dan tak bukan adalah kekasih Berlian sedang bersama perempuan lain yang tak begitu ia kenal.

Berlian melangkah perlahan meninggalkan Aletta dibelakang. Ia berjalan mendekati Yeziel yang sedang berada di salah satu bangku yang ada di kantin. Yeziel tengah duduk sambil menatap perempuan yang ada dihadapannya.

Berlian tak dapat mendengar apa yang Yeziel ucapkan pada perempuan tersebut. Namun yang kini ia lihat adalah tangan Yeziel yang terulur untuk mengusap kepala perempuan dihadapannya.

Sakit. Itu yang Berlian rasakan. Dugaannya selama ini memang benar. Yeziel memang belum selesai dengan masalalunya.

"Ziel.." lirihnya ketika ia sudah sampai di belakang Yeziel.

Yeziel menoleh ke belakang lalu terkejut mendapati Berlian yang sudah berdiri disana. Ia langsung gelagapan mencari alasan untuk menutupi tindakannya tadi.

"Maaf, tadi aku—"

"Gue udah lihat semuanya. Ternyata dugaan gue selama ini bener. Lo emang belum selesai sama masa lalu lo." Tukas Berlian.

Yeziel menghela nafas pasrah, "Bukan gitu, Lian. Kamu salah paham." Tangan Yeziel terangkat hendak mengusap air mata yang entah sejak kapan telah terjun bebas dari pelupuk mata Berlian. Namun, kedua tangan tersebut langsung saja ditepis oleh Berlian.

"Nggak usah pegang-pegang gue! Tangan lo bau azab!" cetusnya. "Lo tadi habis pegang-pegang si Cheyda-Cheyda itu kan?! Nggak usah sentuh gue, JIJIK!!"

Merasa namanya disebut, Cheyda pun segera bangkit dari duduknya, menghampiri Berlian yang tengah mati-matian menahan isak tangisnya agar tidak keluar. Ia tidak ingin terlihat lemah dihadapan Yeziel dan Cheyda.

Cheyda dengan entengnya menampar pipi mulus Berlian hingga tercetak bekas kemerahan disana. Perih menjalar di wajahnya. Panas, tamparan yang sangat keras Cheyda layangkan di kedua pipi Berlian secara bergantian.

Aletta yang sedari tadi hanya menyaksikan pun langsung berlari mendekati Berlian. Awalnya ia tidak ingin ikut campur lantaran ia pikir ini merupakan urusan mereka bertiga pribadi. Namun, melihat Cheyda sangat lancang menampar pipi Berlian tanpa belas kasihan, ia jadi tak tega.

"Kita ke UKS aja, yuk. Nggak usah ngeladenin orang gila itu. Yuk?" ajak Aletta dengan nada penuh kelembutan.

Berlian yang sudah kehabisan tenaga pun hanya mengangguk pasrah ketika Aletta mencoba memapahnya.

Sementara itu, di ruang musik. Jenifer mengatakan kepada Elbiru bahwa ada suara yang terpecah saat rekaman tadi. Jadi, mereka harus mengulanginya lagi. Elbiru merasa frustasi karena ia sudah berkali-kali mencoba menghubungi Berlian dan Aletta namun nihil, tak ada jawaban dari keduanya.

Elbiru menghela napas kasar. Ia berjalan meninggalkan ruang musik dan berlari ke kantin berniat menyusul Berlian dan Aletta.

Sampai di kantin, Elbiru dibuat bingung ketika tak mendapati Berlian dan Aletta disana. Kondisi kantin sangar sepi, bahkan tidak ada satupun siswa yang berada di kantin.

Namun tiba-tiba, ada yang menepuk pundak Elbiru dari belakang. "Lo jangan pengaruhi cewe gue, atau lo akan tau akibatnya."

Elbiru segera menoleh, menatap datar kearah cowok yang tadi telah menepuk pundaknya dengan keras.

"Lebih baik lo urusin jalang lo, daripada ngurusin Berlian yang ujung-ujungnya ntar malah lo bikin dia sakit hati."

"Lo nggak tau apa-apa tentang hubungan gue sama Berlian. Jadi, mending lo diem aja, nikmati alurnya," ujar Yeziel sebelum kemudian melenggang pergi meninggalkan Elbiru.

"Brengsek," gumamnya.

Elbiru bersuara dengan suara berat khasnya, "Mana Berlian?"

"UKS," jawab Yeziel singkat sebelum benar-benar pergi dari hadapan Elbiru.

Elbiru refleks menendang meja yang ada dihadapannya. Entah mengapa, dirinya merasa kesal dengan tingkah Yeziel. Setiap kali ia melihat Yeziel mendekati Cheyda, Elbiru seakan tak terima. Padahal, Elbiru bukanlah siapa-siapa mereka.

"Lian, lo gapapa?" tanya Elbiru sambil setengah berlari menuju ke brankar yang Berlian tempati.

Berlian mengangguk pelan sambil tersenyum, mencoba meyakinkan Elbiru bahwa ia baik-baik saja. Namun, bukan Elbiru namanya jika gampang sekali dibodohi oleh orang lain. Elbiru itu peka. Ia juga memiliki kemampuan membaca pikiran orang lain hanya dari wajahnya.

Sorot mata yang Berlian tunjukkan kini hanyalah sorot mata yang penuh kekecewaan. Sorot mata yang biasanya selalu berbinar-binar, seketika sirna. Hanya terlihat rasa kecewa yang begitu mendalam dan penuh luka yang kini Elbiru lihat.

"Lo nggak usah bohongin gue. Gue tau lo kecewa sama dia. Jadi, lo nggak usah pura-pura biasa aja seolah nggak terjadi apa-apa." Cerocos Elbiru panjang lebar membuat Berlian tertunduk dalam sambil memainkan jemari-jemari lentiknya.

"Lo tahu apa tentang gue, Kak? Udah gue bilang, gue nggak pa-pa. Jangan ikut campur urusan gue," ketus Berlian lalu beranjak meninggalkan UKS.

Berlian berlari sekencang mungkin menuju ke toilet terdekat. Kepalanya sangat pusing. Ia masuk ke salah satu bilik toilet dan mengunci pintunya rapat-rapat. Tubuhnya meluruh ke lantai, ia menjambak rambutnya kuat. Tak peduli dengan kepalanya yang semakin berdenyut. Ia menghantamkan kepalanya ke tembok toilet, menimbulkan bunyi yang memilukan.

Tetes demi tetes air mata jatuh dari pelupuknya. Ia menangis tanpa suara. Kecewa, marah, cemburu, bercampur menjadi satu. Selama ini, ia mencoba memercayai kekasihnya itu, namun kekasihnya malah mengingkari janji yang dulu mereka buat.

"Gue... Gue kecewa, kecewa banget, sama lo, Zi.." ucapnya dengan suara seraknya. Dadanya kembang kempis menahan sesak yang menghujam.

Tiba-tiba, ada suara langkah kaki yang masuk menuju ke toilet. Berlian merapikan penampilannya yang sudah tak karuan. ia mengintip dari celah pintu.

"Lian? Kamu disini? Tadi kata Kak Biru kamu lari ke toilet."

Berlian mengusahakan air matanya sebelum menjawab, "I—iya, Ta, aku disini."

Terdengar helaan nafas lega dari luar. "Kamu di bilik nomor berapa?" tanya Aletta membuat Berlian keluar dari bilik yang ia masuki tadi.

Penampilan Berlian yang acak-acakan membuat Aletta terkejut, tak percaya jika yang berdiri dihadapannya ini adalah Berlian.

"Ini beneran Berlian? Ya ampun, kamu kenapa bisa kayak gini, Lian?" tanyanya panik sekaligus tak percaya.

"Iya, Ta, ini aku.."

Biru Milik Berlian [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang