TIGA BELAS

1 0 0
                                    

“Jangan pernah menangisi laki-laki yang telah menghancurkan hidupmu. Karena itu tidak akan membuatnya sadar akan kesalahannya.”

Berlian telah menceritakan semuanya kepada Aletta. Aletta pun tercengang dibuatnya. Meskipun Aletta belum pernah pacaran, tapi ia sangat paham dengan apa yang Berlian rasakan.

Aletta mengajak Berlian untuk kembali ke ruang musik, karena masih ada satu proyek lagi yang harus mereka kerjakan.

Sesampainya mereka di ruang musik, Elbiru menatap Berlian dari bawah hingga atas. Elbiru terkekeh pelan. Dasar perempuan, mau saja dibodohi laki-laki.

“Kalo jatuh cinta itu utamakan logika, punya otak dipake, jangan cuma ngandalin perasaan doang. Lo bisa gila kalo cuma ngandalin perasaan lo,” celetuk Elbiru.

“Diem,” teguran Berlian sontak membuat Elbiru tertegun. Berlian yang selama ini belum pernah ketus padanya, tiba-tiba bisa menjadi ketus juga.

Semuanya pun kembali berkutat dengan tugas masing-masing. Tak ada yang berbicara. Jika sudah berkelana di dunianya masing-masing, semua seolah tuli.

Ponsel Berlian berdering, membuat fokusnya teralihkan pada benda pipih yang terus bergetar dihadapannya. Ia menarik ke atas tombol hijau di bagian bawah layarnya.

To the point, aku sibuk,” ujarnya saat ia menempelkan benda pipih itu ke telinganya sebelum makhluk diseberang sana mengawali pembicaraan. Berlian mengaku muak dengan semuanya. Cukup sudah ia dipermainkan. Saat ini, ia benar-benar kecewa.

“Gue mau pulang sekolah kita ketemu.” Setelah mengatakan itu, sosok di seberang sana langsung memutus panggilan secara sepihak. Membuat Berlian berdecak malas.

“Apa tadi dia bilang? ‘Gue’? Kita mulai permainan ini, Yeziel Alganendra,” batin Berlian sambil tersenyum miring. Ia sudah tau maksud Yeziel mengajaknya bertemu.

×××

Bel telah berbunyi sejak tadi, tapi dua insan yang masih berada di parkiran terlihat saling melemparkan tatapan dingin. Berlian sudah muak dengan semua kebohongan Yeziel.

“Cepetan, gue nggak ada waktu buat ngurus cowok berengsek kaya lo,” ujar Berlian karena sejak tadi mereka hanya diam membisu, tak ada yang mau membuka percakapan terlebih dahulu.

Karena tak kunjung ada jawaban dari lawan bicaranya, akhirnya Berlian memilih untuk melontarkan satu kalimat yang sudah ia pikirkan matang-matang sejak tadi. “Ck, lama! Putus,” ketus Berlian tanpa menatap Yeziel.

Yeziel pun terkejut dengan keputusan Berlian. Ia tak menyangka jika Berlian akan mengambil keputusan secepat ini. Niatnya mengajak bertemu adalah untuk membicarakan baik-baik hubungan mereka.

“Nggak,” tolak Yeziel mentah-mentah. Berlian mendengus dan menghempaskan tangan Yeziel yang entah sejak kapan sudah bertengger di pipinya.

“Najis. Tangan lo udah kena Cheyda. Jangan sentuh gue. Mulai detik ini, kita putus.” Berlian pergi meninggalkan parkiran dengan hati yang bergemuruh. Antara lega, namun kecewa. Tidak, ia harus bisa merelakan mantan kekasihnya itu.

“Udah cukup semuanya, silakan lo balik lagi ke masa lalu lo,” seru Berlian dari kejauhan yang masih dapat didengar Yeziel.

Yeziel merasa bersalah? Tentu, tapi segera ia tepis. Ia berpikir jika itu bukan salahnya, melainkan salah Berlian yang mengambil keputusan sepihak dan tidak mau mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu. Ia menaiki motornya lalu menarik tuas gas dalam-dalam sehingga terdengar bunyi deruman motor yang memekakkan telinga.

Ia kebut-kebutan di jalan untuk melampiaskan emosinya. Ia berbelok ke suatu kompleks pemakaman umum yang tak lain dan tak bukan adalah tempat ibundanya dikebumikan.

“Ma, Ziel dateng lagi, Mama apa kabar?” tanyanya pada gundukan tanah dihadapannya. Ia mengusap batu nisan milik mamanya. Lalu membersihkan makam mamanya yang sudah dua minggu tak ia kunjungi.

“Ma.. Hari ini.. Ziel kehilangan orang yang Ziel sayang, lagi..” ucapnya sambil menghela nafas panjang. Setelah bercakap-cakap dengan gundukan tanah dihadapannya, hatinya sedikit tersentuh. Ia menyesal.

Ia kembali kehilangan orang tersayangnya, untuk yang kedua kalinya. Cukup. Tuhan, tolong jangan mengujiku dengan kehilangan. Cukup kasih sayang orangtuanya yang hilang dari hidupnya, jangan kau ambil kasih sayang dari kekasihnya.

Cukup lama ia bermonolog disamping gundukan tanah tersebut. Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Ia harus cepat-cepat pulang, sebelum kena omel Darrel.

“Mama, Ziel pulang dulu, ya. Kalo pulang kemalaman nanti digetok Bang Darrel pake wajan.” Ia mencium lembut batu nisan yang bertuliskan nama mamanya itu sebelum benar-benar pergi meninggalkannya.

★★★

Berlian mengaku lelah menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan oleh kakaknya, teman-temannya, serta orangtuanya. Pertanyaan mereka semua sama, “Kenapa bisa putus?” Sungguh, rasanya Berlian ingin menyumpal mulut mereka dengan kaus kaki basah.

“Kalian semua berisik, tau nggak?! Gue capek, mau istirahat.” Berlian menutup sambungan video call-nya dengan teman-temannya.

Saat ponselnya baru saja ia letakkan di nakas, tiba-tiba pintu kamarnya di dobrak oleh seseorang. Siapa lagi kalau bukan Forryl pelakunya? Kakaknya itu sangatlah menjengkelkan. Kalau saja ia tak sayang dengan Forryl, sudah ia buang kakaknya itu ke Sungai Amazon.

“Ish, lo ngapain sih. Gue mau tidur,“ sentak Berlian merasa geram dengan orang-orang hari ini. Semuanya menyebalkan.

“Lo putus sama Ziel?” Tanpa menjawab pertanyaan kakaknya, ia berjalan ke arah pintu lalu menutup pintunya dengan keras lalu menguncinya rapat-rapat.

“LIAN!! JAWAB DULU!!” seru Forryl sambil menggedor-gedor pintu kamar Berlian. Berlian yang kelewat kesal pun membuka dengan kasar pintu kamarnya. Ia menampilkan raut wajah datarnya sambil menatap Forryl. “Iya. Terus kalo udah gue jawab gini, lo mau ngapain?” tanyanya sewot.

Forryl menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Ternyata salah pikirannya memaksa Berlian untuk menjawab pertanyaannya. Jelas-jelas jika orang sedang patah hati, pasti mood nya juga berubah-ubah. Saat ini, Berlian nampak seperti singa yang diganggu tidurnya.

“Ya—ya nggak ngapa-ngapain. Yaudah, selamat, akhirnya lo putus. Jangan lupa taruhan kita dulu. Lo top-up-in gua seminggu.” Forryl memicingkan matanya sambil bejalan meninggalkan Berlian.

“Emang kita pernah taruhan?” beo Berlian, lupa dengan taruhan yang dulu ia buat bersama Forryl. Nasib. Jika ia bertaruh dengan kakaknya yang satu itu, dapat dipastikan jika ia pasti kalah.

“Nggak usah pura-pura lupa. Kalo lo lupa, kita taruhan lagi aja.”

Berlian berdecak kelas. Bisa-bisanya Forryl mengingat taruhan mereka dua bulan yang lalu. Terpaksa ia berbalik masuk ke kamarnya lalu mengambil dompetnya. Dengan hati dongkol, ia merelakan uang seratus ribu-nya hanya untuk menjalani hukumannya karena kalah taruhan.

“Kurang, Li. Kan waktu itu gue bilang seminggu,” protes Forryl dengan wajah yang dibuat menjengkelkan. Membuat Berlian ingin sekali menampar wajah tengil itu. Jika bukan kakaknya, sudah ia buang ke rawa-rawa. Biar mampus dimakan buaya.

“Banyak mau, Lo. Gue belum beli album juga. Segitu emang masih nggak cukup? Banyak loh itu,” balas Berlian kesal.

Forryl pun akhirnya pasrah, kasihan juga adiknya yang satu ini. Ia mengapit kepala Berlian dengan ketiaknya, membuat Berlian merasa tercekik. “Lepasin, ih! Bang, sakit. Kete' lo bau, anjir!” Berlian memberontak mencoba melepaskan diri dari apitan maut Forryl.

Forryl pun mencium ketiaknya sendiri. “Wangi gini lo bilang bau. Giliran kete'-nya Ziel aja lo kekepin,” cibir Forryl lalu berbalik, kembali ke kamarnya sendiri.

“Idih, sok tau lu. Ngadi-ngadi aja.”

Bersambung

Biru Milik Berlian [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang