019

36.6K 2.1K 84
                                    

Guntur melirik Pasha yang diam saja selama perjalanan, gadis yang memakai one set warna putih gading itu memilin jemari seraya melihat ke arah luar. Melamun sembari menyandarkan kepalanya ke jendela, tampak lesu dan tak bersemangat.

Andai, gadis yang duduk di sampingnya ini adalah pasangannya, mungkin sudah sedari tadi Guntur perlakukan dengan sebagaimana mestinya. Mengusap rambutnya pelan atau menarik sebelah tangannya untuk ia genggam.

”Om Guntur orang kaya, ya?”

Pasha membenarkan duduknya, menatap ke depan dimana jalanan selalu ramai setiap hari. Panas, suara mesin, dan debu Jakarta adalah kombinasi yang tidak bisa dipisahkan. Barang kali dulu juga Pasha bagian dari debu kecil itu, terlalu mudah tersapu angin dan terbang tak beraturan. Selalu sendirian.

”Pertanyaan apa itu?”

”Mungkin saking bingungnya kebanyakan harta jadi nampung hidup cewek kayak gue sampe di sekolahin pun gak masalah.”

”Saya gak suka gaya bicara kamu.”

”Terserah, turunin gue.”

What's wrong with you?”

”Pergi.”

Bola mata Pasha merah dan berair, cairan bening itu siap tumpah membasahi kedua pipi. Mendengar isakan, Guntur mencoba menahan agar tak bertanya sebelum menghentikan mobilnya di basemen, ”saya sedih lihat kamu menangis.”

”Apa sih yang om Guntur dapetin dengan gue tinggal di rumah gede itu?” Guntur menghela nafas, ”maksud kamu apa?”

”Biarin gue pergi, apa susahnya?”

”Gak ada alasan buat kamu pergi, emangnya kamu mau kemana?” Guntur masih bisa bersabar dan mencoba memahami, sekiranya apa yang telah ia lewatkan hingga membuat Pasha terlihat bersikap seperti sekarang.

”Kemana aja.”

”Shasa, dengerin saya.”

Pasha yang semula menunduk, mengangkat kepala dan mendapati wajah Guntur tepat berada di depannya. Serius sekali sampai membuat Pasha tertegun melihatnya.

”Apa?” cicit Pasha pelan.

Sejujurnya Pasha merasa sedikit takut jika Guntur tengah serius, biasanya ia akan mendapat wajah seperti itu ketika Guntur sedang sibuk dengan iPad-nya atau ketika sedang bicara dengan orang lain seperti Firman dan Danis ketika di rumah sakit. Wajahnya tegas dan berkharisma, Pasha mengakui jika Guntur memang tidak mempunyai celah apapun. Sempurna adalah kata paling tepat untuk pria ini.

I won't let you go, unless you go with your lover.”

”Ngomong apa sih?”

Pasha berdecak kecil dan melipat kedua tangannya di depan dada. Guntur mendekatkan kepalanya lantas mengecup pelipis Pasha singkat, mengusap rambut gadis kecil yang duduk dengan wajah merajuk di sampingnya ini.

”Apa sih cium-cium?”

Pasha membalas dengan mencubit lengan atas Guntur. Tapi yang membuat Guntur tertawa adalah karena pipi Pasha berkedut, menahan senyuman yang sebisa mungkin tidak pecah.

”Kamu punya pacar?”

”Kenapa tanya gitu?” Pasha membenarkan rambutnya yang acak-acakan, keluar dari cepolan asal yang ia buat.

”Pengan tau aja, so?”

Gelengan kepala Pasha adalah tanggapan yang ia terima.

”Yaudah anggap saya pacar kalo gitu, jangan merasa gak enak cuma karena hidup di rumah saya. I do this out of conscience dan kalau pun di masa yang akan datang saya jatuh cinta sama kamu gak salahnya, ’kan?”

[#2] GUNTUR ASKA BUMI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang