"Seneng banget, nanti ibu pulang ke rumah," ujar Anin setelah menerima telepon dari Yunita.
Wanita itu menelpon orang rumah untuk mengabarkan bahwa hari ini, Yunita sudah bisa kembali ke rumah lantaran kakek dan nenek sudah lebih baik dari sebelumnya. Mendengar kalimat itu tentu membuat anak-anaknya sangat senang untuk menyambut kedatangan sang ibu.
Saking senang Anin lupa bahwa hari ini adalah hari Senin. Yang artinya sudah mulai bersekolah seperti hari biasanya setelah weekend. Jakarta pagi ini sudah diguyur oleh hujan deras yang mengakibatkan Anin berdecak kesal.
Tidak seperti biasanya, setiap hari Senin ia selalu berharap akan turun hujan agar tidak melaksanakan upacara bendera. Namun kali ini berbeda, saking senang dengan kabar itu membuat Anin ingin sekali bergegas menuju sekolah.
Apalah daya saat ini hujan, mau tidak mau mereka akan menunggu hujan lebih reda karena tidak ingin mengambil resiko.
"Hujan kapan berhenti, sih?" gumamnya, melihat hujan turun begitu sangat deras dari balik jendela.
"Kayaknya gak sabar banget mau berangkat sekolah, ada apa sih?" tanya Shindu memperhatikan adik perempuannya itu yang tampak galau karena hujan tidak kunjung berhenti.
"Iya, tuh. Apa jangan-jangan ada someone di sekolah? Bener, kan?" tebak Izaz.
Anin menatap tajam kakaknya itu jika tebakan Izaz adalah salah. Boro-boro untuk berpacaran atau dekat dengan laki-laki di sekolah jika kedua kakak kembarnya itu selalu mengawasinya diam-diam. Tanpa pengetahuan dirinya.
"Gimana mau deket sama cowok, kalau kalian selalu awasin gue diem-diem," jawab Anin memutar bola matanya malas.
"Yeu! Gini-gini kita sayang sama lo ya, makanya lo harus dapat pengawasan ekstra dari kita." Izaz bangkit dari duduknya kemudian menghampiri sang adik yang duduk di lantai dekat dengan jendela.
"Btw cowok di kafe itu siapa?" tanya Izaz lirih tepat di telinga adik perempuannya itu.
Pertanyaan kakaknya itu mampu membuatnya berpikir keras karena akhir-akhir ini ia mengunjungi kafe tidak bersama seorang laki-laki.
"Yang mana?"
"Itu lho, yang kejadian kemarin-kemarin. Kayaknya sih sebelum yang lalau, kalau gak salah itu, barista cakep."
Anin kembali berpikir, ingatannya kembali pada sebulan yang lalu. Pertama kali ia berkenalan dengan barista di kafe itu. Dapat diakui bahwa Marka-barista kafe Kopi Teduh sangatlah tampan. Marka juga orang yang sangat humble sehingga ia nyaman saat mengobrol.
"Ah, Marka." Anin mengingat nama tersebut. Sayangnya mereka tidak sempat bertukar nomor ponsel ataupun sosial media yang lain, sehingga membuatnya sedikit lupa.
Mungkin lain kali, Anin akan pergi ke sama lagi untuk bertukar nomor ponsel. Itu hanya niat Anin saja, tidak tahu akan terjadi atau tidak.
"Namanya Marka?" Anin mengangguk. "Bagus juga namanya, pas gue lihat juga, di orangnya baik."
"Walaupun gue baru kenalan sama dia sebulan yang lalu, gue akui dia emang baik, humble juga, bikin gue nyaman kalau ngobrol sama dia," ungkap Anin mengembangkan senyum.
"Yeu! Naksir lo ya?" tanya Izaz sembari menggoda adiknya itu dengan menjawil hidung Anin.
"Ya kali!"
Izaz terkekeh dengan jawaban ketua dari adiknya. "Gak percaya, suatu saat pasti kalian bakalan jadi dua insan yang saling mencintai." Melihat perubahan wajah Anin dengan cepat membuatnya lagi-lagi terkekeh. "Becanda, Dek. Tapi kalah beneran gak apa-apa, kok."
"Apa sih!" Anin yang kesal itu kemudian memukul lengan Izaz dengan keras.
"Kalian lagi ngobrol apa? Seru banget kayaknya." Shindu yang dari tadi melihat kedua adiknya berbicara membuatnya ingin bergabung.
"Ini, nih, bocah ini udah jatuh cinta." Dengan jahil Izaz malah mengatakan seperti itu membuat Anin membulatkan matanya kaget.
"Apa sih! Enggak ya, jangan bohong deh!" Terlanjur kesal dengan ucapakan kakaknya itu, Anin memukul lengan Izaz bertubi-tubi.
"Pagi anak-anak Ayah, ayo berangkat. Hujan juga udah lumayan reda." Baskara muncul saat Anin tengah memukul kakaknya itu seketika berhenti kemudian melihat ke arah jendela bahwa hujan sudah lumayan reda tidak sederas tadi.
"Loh, Ayah gak ke kantor?" tanya Shindu, melihat penampilan Baskara dari atas sampai bawah. Pria paruh baya itu masih menggunakan sarung kesayangannya serta kaus hitam.
"Enggak," jawab Baskara.
"Libur mulu, dipecat baru tahu rasa," ujar Izaz lirih.
Namun, Baskara mendengar ucapan anaknya itu lantas terkekeh. "Siapa yang berani pecat Ayah? Orang itu perusahaan Ayah sendiri."
***
Sudah sekitar dua jam lebih ketiga bersaudara itu menunggu kepulangan sang ibu di halaman rumah. Jika diprediksi seharusnya satu jam yang lalu Yunita sudah berada di rumah bersama mereka.
Namun, sampai saat ini sosok ibu yang mereka tunggu belum muncul juga sehingga membuatnya khawatir akan terjadi apa-apa.
Baskara mengerti raut wajah ketiga anaknya yang khawatir dengan sang ibu, membuatnya menghampiri.
"Jangan khawatir, kita doakan saja. Semoga ibu sampai dengan selamat," ujar Baskara memecahkan keheningan.
Ketiganya lantas mengangguk pelan kemudian meramalkan doa dalam hati untuk keselamatan sang ibu. Baskara juga tidak khawatir dengan istrinya yang belum memberi kabar apapun sejak dua jam yang lalu.
Di sela-sela keheningan yang terjadi, suara sering ponsel milik Baskara berbunyi. Suara ponsel itu membuat ketiga anaknya melihat ke arahnya dengan penuh harap jika penelpon tersebut adalah ibunya.
Shindu memberi isyarat pada ayahnya untuk segera mengangkat telpon itu. Baskara mengulas senyum saat di layar ponselnya terdapat nama istrinya tanpa lama-lama Baskara mengangkat telepon tersebut.
"Halo? Kamu udah sampai?"
Pertanyaan penuh harap itu keluar dari mulut Baskara. Namun, suara jawaban itu seperti bukan suara dari istrinya.
"Ini siapa, ya? Kok bukan seperti suara istri saya."
Mendengar penjelasan dari telepon itu kemudian membuatnya terkejut, genggaman tangan pada ponsel semakin menguat. Shindu, Izaz, dan Anin melihat wajah panik ayahnya membuat mereka khawatir dengan kondisi sang ibu.
Baskara mematikan teleponnya kemudian menyuruh ketiga anaknya itu segera bersiap-siap sedangkan dirinya mengambil kunci mobil. Itu membuat ketiga anaknya semakin panik sebab tidak diberi tahu olèh sang ayah apa yang terjadi.
Namun, mereka tetap mengikuti apa yang diperintahkan tanpa menunggu lama-lama. Setelah itu semua sudah siap, Baskara mengunci pintu.
Mobil milik Baskara melaju dengan cepat sehingga meninggalkan pekarangan rumah. Hatinya seakan-akan dihantam oleh beribu-ribu batu, yang dipikirkannya itu adalah kondisi istrinya.
Baskara menghembuskan napasnya setelah melihat raut wajah khawatir anaknya dari kaca. Seharusnya ia lebih bersikap tidak seperti ini agar tidak membuat anaknya lebih khawatir.
"Tenang, kalian tidak usah khawatir. Kita doakan saja ibu gak terjadi apa-apa," ujar Baskara.
Kurang lebih setengah jam dalam perjalanan menuju Rumah Sakit, akhirnya mobil itu terparkir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unspoken Traces (COMPLETED)
Teen FictionMenceritakan tentang sebuah keluarga Baskara dan Yunita yang memiliki tiga orang anak. Dua anak kembar laki-laki dan satu anak perempuan. Si kembar Shindu, Izaz, dan Anin sebagai anak bungsu. Keluarga yang harmonis bahkan tidak menjamin adanya konf...