Confess

6.8K 467 47
                                    

Ceklek!

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Aydan membuka pintu kamar secara perlahan agar tak menimbulkan suara deritan. Setelah pintu tertutup kembali, Aydan berjalan menuju ranjang dan duduk di pinggirannya.

Aydan memperhatikan Nadhira yang tengah melipat sejadah. Malam ini, Nadhira memakai abaya berwarna army dengan hijab berwarna hitam yang senada dengan niqobnya.

Setelah selesai dengan kegiatannya, Nadhira berbenah di bawah untuk tempat tidur Aydan.

"Nad, itu... kenapa masih dipakai?"

Nadhira melihat Aydan yang menunjuk niqobnya.

"Kakak udah siap lihat wajah saya?" tanya Nadhira.

"Siap gak siap, gue udah lihat."

Nadhira diam. Setelah selesai berbenah, ia ikut duduk di samping Aydan.

"Kalau saya buka, Kakak gak akan berubah, kan? Saya takut Kakak gak suka--"

"Nad!" Aydan memotong ucapan Nadhira. Ia menarik napas dalam lalu mengeluarkannya secara perlahan.

Ragu-ragu Aydan menghadapkan tubuhnya pada Nadhira. Untuk sejenak, Aydan hanya mampu menatap netra hijau milik Nadhira. Mencoba menyelami rasa yang ia tak tahu kapan rasa itu ada.

Dengan tangan yang bergetar, Aydan mencoba melepaskan niqob yang dipakai Nadhira.

Setelah niqobnya terbuka, Aydan menundukan pandangannya. Membuat Nadhira kebingungan dengan sikap Aydan. Kalau dia memang belum siap, kenapa harus dibuka?

"Kenapa Kakak suka ngebuat saya bingung dengan sikap Kakak?"

Nadhira menatap Aydan, lalu tangannya bergerak untuk mengangkat dagu Aydan dengan pelan. Tapi, meskipun wajah Aydan menghadap Nadhira, mata Aydan masih setia melihat ke bawah. Membuat Nadhira semakin bingung dengan sikapnya.

"Kakak yang buka, Kakak juga yang gak mau lihat."

"Wajah saya aneh, ya?"

Aydan menggeleng cepat. Dengan detak jantung yang bertalu seperti ini, Aydan jadi takut untuk bicara, walaupun hanya seucap kata. Dia takut suaranya akan terbata-bata dan Nadhira akan mengetahui apa yang tengah dia rasa.

"Terus, kenapa Kakak gak mau lihat wajah saya?" Nadhira berucap sambil menarik kembali tangannya dari dagu Aydan.

"Lo...."

'Tenang Aydan, tenang!'

"Lo cantik, Nad!"

Aydan langsung memejamkan mata dan menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Ma-maksud gue... lo cepet tidur! Iya, cepet tidur!"

Aydan langsung bangkit, ia buru-buru berpindah ke tempat tidur yang tadi disiapkan Nadhira. Setelah berbaring, Aydan menarik selimut hingga menutupi wajahnya.

"Se-selamat tidur--ah bukan! Ma-maksud gue... mimpi indah!"

"Aish!" Aydan berdesis sambil mengguling.

Hening cukup lama, Nadhira hanya memperhatikan Aydan yang wajahnya tertutup selimut, hingga akhirnya Aydan pun berkata, "Selamat malam."

Nadhira menahan tawa melihat kelakuan suaminya. Perlahan ia pun naik ke atas ranjang. Berbaring dengan posisi menghadap suaminya yang tidur di bawah.

"Selamat malam."

Nadhira tersenyum tipis. Entah sampai kapan ia harus menunggu kesiapan dari seorang Aydan. Melihat wajahnya saja Aydan seakan masih ragu, apalagi tidur di satu ranjang yang sama. Tapi, meskipun begitu, Nadhira akan terus menunggu, tak peduli seberapa lama kata siap itu akan terucap dari mulut Aydan.

Alif Lam Mim Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang