Retak

1K 110 14
                                    

14:17

"Assalamu'alaikum!" Ucapan salam disusul suara derit pintu terdengar dari ruang utama rumah Wistara. Tak kunjung mendengar jawaban, Aydan pun berjalan masuk sambil celingukan. Netranya tak berhenti mencari dua perempuan yang biasanya menyambut kedatangan anak dan suaminya.

"Eh, Den Aydan su-sudah pulang. Mau... Bibi buatkan minum?"

Aydan menoleh, mendapati pembantunya yang buru-buru menghampiri. Aydan menatap wanita paruh baya itu dengan tatapan penuh tanya. Ada yang aneh dari nada bicaranya. Terlebih, mata pembantunya itu beberapa kali terlihat melihat ke sekitar rumah, terutama lantai atas.

"Ada apa, Bi?"

Aydan mengangkat sudut bibirnya melihat raut wajah Bi Asih. Kedua matanya lebih sering berkedip, tangannya juga memainkan sapu tangan yang tengah dipegang. Aydan tahu ada sesuatu yang tengah ditutupi. Namun sayang, dia tak memiliki kemampuan untuk menebak situasi yang tengah terjadi.

Mendapat tatapan intimidasi, Bi Asih menunduk sambil memikirkan cara untuk mengalihkan topik.

"Anu, Den... itu, Bibi gak bisa pasang tabung gas."

Cara bicaranya semakin menambah kecurigaan Aydan. Namun, Aydan juga tahu betul, dari dulu Bi Asih takut memasang tabung gas. Jadi, Aydan tak bisa menyebut ucapan pembantunya sebagai alasan saja. Akhirnya, Aydan memutuskan mengikuti Bi Asih, untuk memastikan ucapan wanita paruh itu.

Baru saja kaki Aydan melangkah, terdengar suara gaduh dari lantai atas yang otomatis membuat kakinya kembali berhenti.

"Ayo, Den!" ajak Bi Asih dengan intonasi yang tinggi.

Namun, Aydan tak menanggapi. Ia memilih berdiam diri sambil menajamkan pendengaran. Hingga tak lama kemudian, terlihat dua wanita dengan langkah cepat menuruni tangga.

"Ta, Mbak mohon, dengerin Mbak. Jangan pergi, Ta. Kasian Aydan."

Aydan mematung beberapa saat. Ketika matanya melihat koper hitam yang dibawa Tita, otaknya mulai memahami situasi. Dengan langkah cepat, Aydan menghampiri mereka.

"Mah!"

Kedua wanita itu menghentikan langkah. Ketara sekali ada rasa terkejut melihat kehadiran Aydan di sana.

"Aydan, bantu Bunda, Nak...." Mia berucap dengan suara yang serak dan sedikit tertahan.

Tanpa banyak bertanya, Aydan menarik koper yang dipegang ibu kandungnya. Saat Tita menahan, Aydan beralih menatap wanita itu.

"Kenapa? Harusnya kamu seneng lihat Mamah pergi. Karena mulai hari ini, gak ada lagi orang yang kamu benci di rumah ini."

Aydan tak mengalihkan tatapan datarnya dari Tita. Haruskah Aydan menangis sesegukan, untuk menunjukan sehancur apa ia sekarang? Atau, haruskah Aydan menertawakan dirinya yang selalu gagal menjelaskan bahwa wanita di depannya ini menempati tempat utama di hatinya?

"Kapan, Mah? Kapan Aydan bilang benci sama Mamah?" tanya Aydan dengan suara yang rendah bahkan hampir tak terdengar.

"Aydan gak pernah benci sama kamu, Ta. Mbak juga sayang sama kamu. Mbak udah menganggap kamu--"

"Percuma! Karena pemimpin dari keluarga ini gak bisa menerima dan menghargai kehadiranku, Mbak! Aku gak mau jadi penghalang kebahagiaan orang lain," potong Tita.

Alif Lam Mim Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang