˚˖𓍢ִ໋❄️˚𝕄𝕚𝕝𝕜 𝕗𝕠𝕣 𝕦

89 4 3
                                    

︵‿︵‿୨♡୧‿︵‿︵

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

︵‿︵‿୨♡୧‿︵‿︵

❝ 𝕀 𝕓𝕦𝕚𝕝𝕥 𝕥𝕙𝕒𝕥 𝕨𝕒𝕝𝕝𝕤 𝕒𝕤 𝕙𝕒𝕣𝕕 𝕒𝕤 𝕚 𝕔𝕠𝕦𝕝𝕕, 𝕒𝕟𝕕 𝕪𝕠𝕦 𝕛𝕦𝕤𝕥 𝕕𝕖𝕤𝕥𝕣𝕠𝕪𝕖𝕕 𝕚𝕥.❞

︶꒦꒷♡꒷꒦︶

***

Kageyama memasukkan recehan ke vending machine, lalu memencet salah satu tombol sebelum benda besar itu mengeluarkan suara benda jatuh. Ia mengulurkan tangan ke bawah untuk mengambil sekotak susu vanilanya.

Sejak kejadian kemarin, Kageyama tidak bisa menepis si Jingga dari pikirannya. Sikap Hinata yang acuh tak acuh itu justru membuat Kageyama penasaran dan ingin mengetahui pemuda itu lebih jauh. Kageyama tau jika perilakunya kini bertolak belakang dengan apa yang dia katakan.

"Jadi, kenapa memanggilku?" Pria berambut keabuan itu berbicara. Tangannya menyilang di depan dada, menunggu Kageyama mengatakan niatnya.

Sugawara Koushi. Entah bagaimana pikiran Kageyama bisa memutuskan untuk memanggil pria ini. Mungkin karena dia menjabat sebagai wakil ketua OSIS, ia berpikir bahwa pria ini mungkin tahu beberapa hal tentang si Jingga.

"Begini ... kau tau penunggu pohon maple di belakang sekolah?" tanya Kageyama setelah menusukkan sedotan pada kotak susunya.

Kening Sugawara mengerut. "Hah? Penunggu?"

"Ah, bukan ...." Kageyama menggaruk rambut legamnya. Lalu mengangkat ujung-ujungnya, mencoba meniru gaya rambut Hinata. "Aku tidak tau siapa namanya, yang jelas dia punya rambut oranye yang acak-acakan."

Sugawara menjentikkan jarinya. "Ohh, Hinata?"

Kageyama meneguk minumannya melalui sedotan. "Eng ... ya itu lah pokoknya."

Sugawara tertawa pelan melihat tingkah adik kelasnya itu. "Dia ada di kelas 1-4, tepat di sebelah ruanganmu."

"Oh ya?" Kageyama menaikkan alisnya tak percaya. "Aku tak pernah melihatnya."

"Dia memang hanya masuk kelas sekali dua kali. Karena sifatnya yang tertutup dan agak aneh, anak-anak kebanyakan menjauhinya. Aku pernah mengajaknya berbicara satu kali, tapi yang dia lakukan hanya mengabaikanku."

Kageyama meremas kotak susunya yang telah kosong. Ia bisa menarik satu kesimpulan. Bukan anak-anak yang menjauhi Hinata duluan, tapi Hinata lah yang menarik diri dari pergaulan.

***

Hinata tetap tenang di tempatnya hingga sosok jangkung itu berdiri tepat di depannya, tangan pria itu menenteng susu kotak yang masih baru. Hinata mengerutkan kening, tubuh kecilnya nyaris tertutupi sepenuhnya oleh bayangan Kageyama.

"Minggir, kau menghalangi langitnya."

Kageyama menghela nafas lelah. "Kau ini arwah penunggu pohon atau apa? Tidak bisakah kau beranjak dan pergi ke tempat lain? Kantin misalnya. Lihat tubuhmu yang kecil itu, seperti anak kurang gizi saja."

Ia berniat memancing reaksi pria itu. Pada umumnya orang akan marah saat dikatai seperti itu, tapi tidak bagi Hinata yang dari awal memang sudah sadar diri. Pria itu hanya menatap lurus Kageyama, sesekali mengerjap pelan.

Mendapati dirinya diabaikan, Kageyama rasanya semakin ingin untuk mengacak-acak rambut sewarna jeruk matang itu. Ia berjongkok, mencoba menyamakan tingginya dengan Hinata."

"Hei jawab aku! Kau bisa bicara 'kan?"

"Bukankah kemarin kau bilang tidak akan lagi berbicara denganku? Lagi pula kita bukan teman."

Kageyama menggaruk pelipisnya sembari meringis pelan. Oke, Kageyama akui dia melanggar perkataannya sendiri.

"Jika aku menjadi temanmu, apa aku boleh berbicara denganmu?"

"Tidak boleh." Hinata menjawab dengan cepat, tatapannya tak sedatar tadi. Ada sedikit emosi yang tak dapat dijelaskan di sana. "Aku sakit."

Melihat Kageyama yang terdiam, Hinata pikir pria itu telah mengerti maksudnya. Ia sudah bersiap dengan apa pun yang akan dikatakan Kageyama selanjutnya.

Mendorong pergi siapa saja yang mencoba berteman dengannya sudah menjadi salah satu kebiasaan Hinata. Ia membangun tembok antara dirinya dan dunia luar, menyisakan sedikit ruang yang hanya akan ditempati olehnya dan musim salju nanti. Sejauh ini pun belum ada yang berhasil menerobos dinding kokoh itu.

"Sakit?" Kageyama mengerjap pelan dengan kepala yang dimiringkan sedikit. "Kau suka pria?"

"Hah?" Hinata cengo. Tampaknya Kageyama sudah benar-benar salah paham maksudnya. "Tidak, bukan yang--"

"Aishh, kenapa sih orang-orang selalu mengatakan diri mereka sakit hanya karena orientasi seksual mereka? Ya kalau dari lahir sudah begitu mau diapain lagi, iya nggak?" Kageyama mengibaskan tangannya. "Aku sama sekali tidak peduli soal itu."

Kageyama bangkit dari posisinya hingga Hinata harus kembali mendongak untuk menatap pria itu. Ia lalu mengetuk pelan susu kotak yang sedari tadi dibawanya ke kepala Hinata.

"Ini! Susu untukmu."

Hinata yang merasa kotak itu ditekan ke kepalanya lantas ikut memegang benda itu. Tangannya yang dingin bersentuhan dengan milik Kageyama yang hangat.

Kageyama tersenyum kecil melihat Hinata yang akhirnya memegang susu itu. Sesaat jemari mereka bersentuhan, dan ia dapat merasakan dinginnya kulit putih itu. Kening Kageyama berkerut, suhu masih cukup hangat, jadi bagaimana bisa kulit seseorang sedingin itu. Mungkin inilah definisi pria dingin yang sebenarnya.

"Ambil itu dan pastikan kau meminumnya. Anggap saja sebagai tanda pertemanan kita, oke? Hinata."

Hinata tertegun saat mendengar namanya disebut. Semacam perasaan hangat mengaliri sekujur tubuhnya yang dingin.

"Ah, ngomong-ngomong namaku Kageyama. Aku tau kau tidak bertanya, tapi aku aku tetap ingin memberitahumu."

Setelah mengatakannya, bel sekolah pun berbunyi, menandakan jam istirahat telah usai. Kageyama berbalik, menuju ke kelasnya, meninggalkan Hinata dengan sekotak susu pemberiannya.

Membangun dinding dan menutup diri dari pergaulan tentu membutuhkan waktu dan proses bagi seorang ekstrover seperti Hinata. Tapi Kageyama ... dia datang dan menghancurkannya semudah itu.

Hanya dengan sekotak susu.

Hinata menusukkan sedotannya kemudian menurunkan sedikit syalnya sebelum meneguk minuman vanila itu perlahan. Ia tersenyum kecut saat mendapati rasa minumannya tidak semanis yang seharusnya.

Itu sedikit hambar.

Entah kenapa Hinata merasakan kedua bola matanya tiba-tiba memanas.

"Bakageyama ...."

To Be Continued

𝕃𝕒𝕤𝕥 𝕎𝕚𝕟𝕥𝕖𝕣 | 𝕂𝕒𝕘𝕖ℍ𝕚𝕟𝕒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang