︵‿︵‿୨♡୧‿︵‿︵
𝕐𝕠𝕦 𝕕𝕣𝕖𝕨 𝕤𝕥𝕒𝕣𝕤 𝕒𝕣𝕠𝕦𝕟𝕕 𝕞𝕪 𝕤𝕔𝕒𝕣𝕤
︶꒦꒷♡꒷꒦︶
***
Hinata benci rumah sakit.
Ia pernah dirawat seminggu di sana saat terkena tipes, dan itu benar-benar pengalaman yang buruk. Hinata tidak suka makanannya, ia tidak suka ketika harus diinfus, ia juga benci ketika tak bisa melakukan apa pun selain berbaring.
Hinata yang orang sakit ini benci rumah sakit.
Padahal itu adalah tempat di mana ia seharusnya berada.
.
.
.
"Hinata!"
Kebetulan akhir pekan sudah datang, Kageyama jadi tidak perlu ke sekolah. Alih-alih menghabiskan waktu di rumah, ia lebih memilih untuk mematri langkah untuk kembali ke rumah putih-jingga itu. Semalam saja, jika Hinata tidak mendorongnya untuk pulang Kageyama mungkin akan menginap di sana.
Pintu terbuka, menampilkan Hinata yang masih ada dalam balutan pakaian yang sama, bedanya raut wajah itu sudah menjadi lebih baik, tak terlalu lelah seperti kemarin. Kompres pendingin itu pun sudah terlepas di keningnya.
"Kau kembali lagi? Kenapa?"
Kageyama menaikkan sebelah alisnya. "Kau masih bertanya? Tentu saja untuk—"
"Menjenguk orang sakit kan?" Hinata menyela perkataan Kageyama yang belum selesai.
"Ya bukanlah astaga!" Kageyama mendengus kesal. "Aku datang untuk mengunjungi temanku!"
Hinata hanya diam, menatap Kageyama serius. Ia belum juga menyingkir dari pintu, seakan tak membiarkan Kageyama untuk masuk lagi.
"Demammu sudah sembuh?"
Hinata mengangguk. "Lebih baik."
"Kalau begitu mau coba keluar?" Kageyama menjeda ucapannya, kemudian melanjutkan dengan hati-hati, "Jika kau merasa mampu tentu saja."
Hinata terdiam sesaat, sebelum akhirnya menutup pintu secara tiba-tiba. Kageyama menghela nafas, berpikir ajakannya telah ditolak. Saat ia akan melangkahkan kaki meninggalkan rumah, pintu kembali terbuka, dan Hinata melongokkan kepalanya di sana.
"Tunggu, aku siap-siap dulu."
Pintu ditutup kembali, sementara Kageyama tersenyum.
Beberapa menit berlalu, pintu kembali terbuka dan menampilkan Hinata yang mengenakan sweater kuning cerah dengan syal putih bersihnya yang biasa.
Sudah lebih dari seminggu sejak pertemuan pertama mereka. Perubahan sikap Hinata pada Kageyama kini lebih jelas terlihat, pria itu seperti perlahan kembali ke dirinya yang dulu, ceria, terbuka dan sedikit cerewet. Senyum manisnya pun kini menjadi lebih mudah untuk terukir.
Mata hazel Hinata berbinar saat melihat hamparan kolam yang mempesona di depannya. Kolam berdinding batu bata terbentang luas, dipenuhi oleh berekor-ekor angsa yang berenang santai di antara dedaunan gugur yang jatuh ke kolam. Suara riak air dan kicauan lembut burung-burung seolah ikut melengkapi suasana itu.
Awalnya Kageyama tak tau ke mana akan membawa pria ini jalan-jalan, barulah saat ia melihat wajah Hinata di depan pintu tadi tempat ini langsung terpikirkan olehnya. Kolam angsa, yang berada tepat di tengah-tengah Miyagi Park.
Itu pilihan yang bagus. Hinata tampaknya juga menyukai hal ini.
Kageyama ikut tersenyum begitu melihat Hinata yang tampak senang. Namun saat teringat topik pembicaraan mereka kemarin, senyum itu perlahan luntur. Ia menarik tangan Hinata untuk duduk ke salah satu bangku kayu mahoni yang ada di sana, meski tidak sedekat tadi, keduanya masih bisa mendapat visual kolam dengan baik.
Kebetulan Kageyama melihat ada vending machine tak jauh dari sana. Ia berpikir untuk pergi dan mengambil beberapa minuman untuk mereka.
"Kau ingin minum apa?"
Hinata menoleh pada Kageyama. "Ya?"
Kageyama mendengus pelan kemudian menunjuk ke vending machine dan Hinata mengikuti arah telunjuknya. "Akan kubelikan."
Senyum itu menjadi lebih lebar. "Kalau begitu cola!" Sudah lama Hinata ingin meneguk minuman bersoda itu, tapi belum menemukan waktu untuk pergi membeli.
Kening Kageyama berkerut. "Cola? Apa tidak memperburuk kondisimu nanti?"
Hinata mengedikkan bahunya. "Entahlah, tapi minum atau tidak pun bukankah ujungnya sama saja?"
Lagi.
Kageyama benci ketika Hinata berbicara tentang kematiannya seolah itu bukan apa-apa.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Kageyama hanya mengangguk dan melangkah ke mesin penjual otomatis itu. Ia memasukkan koin, menekan tombol, dan meraih dua kaleng cola yang dijatuhkan.
Setiap gerakannya sedikit lambat lantaran pemikirannya yang melayang ke mana-mana. Ia terus memikirkan tentang apa yang harus ia lakukan ketika Hinata benar-benar kehabisan waktu. Kageyama tak ingin itu terjadi, tapi ia tak dapat melakukan apa pun untuk membantu.
Kecuali ....
"Kageyama!"
Seruan itu menariknya kembali ke dunia nyata, ia menoleh, mendapati Hinata yang melihat khawatir ke arahnya.
"Kenapa diam di sana?" Hinata memiringkan kepala. "Ada yang salah?"
Kageyama mengerjap cepat lalu menggeleng kaku. Ia berjalan kembali ke arah Hinata. Ah, sungguh pemikiran gila sesaat dari Kageyama. Kenapa itu bisa terlintas di pikirannya?
Setelah menyodorkan cola ke Hinata, Kageyama membuka miliknya sendiri lalu menenggaknya dalam tegukan besar. Salah satu tangannya dimasukkan ke saku hoodie hitam yang ia kenakan.
"Kenapa kau tetap ke sekolah?"
"Hm?" Hinata masih kurang mengerti konteks kalimat itu.
Sekali lagi Kageyama menghela nafas. "Kenapa kau di sini? Tidak di rumah sakit."
"Apakah setiap orang sakit wajib ada di sana?" Hinata balik bertanya.
"Tidak, tapi bukankah kebanyakan dari mereka ada di sana? Lagipula memang sudah seharusnya begitu." Kageyama merasa ucapannya agak kasar, tapi ia tak punya ide lain tentang bagaimana harus mengatakannya pada Hinata. "Terlebih ketika kau tau waktumu tidak banyak."
Hinata menjentikkan jemarinya. "Tepat sekali, karena itulah aku tidak di sana. Itu adalah hal yang sia-sia jika aku di sana." Ia menatap Kageyama lekat-lekat. "Penyakitku tak ada obatnya, jadi apa dengan menetap di rumah sakit akan mengubah sesuatu?"
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
𝕃𝕒𝕤𝕥 𝕎𝕚𝕟𝕥𝕖𝕣 | 𝕂𝕒𝕘𝕖ℍ𝕚𝕟𝕒
FanficSelain membenci musim dingin, Kageyama juga tidak pernah menyukai anak penyendiri itu. Pemuda berambut oranye yang seolah memiliki dunianya sendiri. Namun semakin Kageyama mencoba mengabaikannya, semakin kuat keinginannya untuk masuk dan menarik p...