˚˖𓍢ִ໋❄️˚𝔸 𝕔𝕠𝕝𝕕 ℂ𝕙𝕣𝕚𝕤𝕥𝕞𝕒𝕤

38 3 0
                                    

︵‿︵‿୨♡୧‿︵‿︵

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

︵‿︵‿୨♡୧‿︵‿︵

𝕐𝕠𝕦'𝕣𝕖 𝕤𝕥𝕚𝕝𝕝 𝕥𝕙𝕖 𝕤𝕒𝕞𝕖. 𝕊𝕥𝕚𝕝𝕝 𝕒𝕤 𝕔𝕠𝕝𝕕 𝕒𝕤 𝕪𝕖𝕤𝕥𝕖𝕣𝕕𝕒𝕪.

︶꒦꒷♡꒷꒦︶

***

Meski hari ini adalah Natal, rumah sakit tetap sibuk seperti biasa. Semua staff yang Kageyama ingat tidak kurang seorang pun, mereka tetap sibuk. Kageyama bangun lebih dulu, semalam setelah Hinata terlelap, dia tidur di sofa panjang yang ada di sudut ruangan. Itu ia lakukan tanpa sepengetahuan orang lain. Semalaman Kageyama khawatir kalau-kalau Shimizu atau siapa pun masuk dan mendapatinya di sana, ia bisa saja kena masalah.

Kageyama membuka ponsel dan memeriksa pesan yang masuk. Di antara banyaknya pesan dari teman sekelas yang tak terbaca, Kageyama lebih memilih untuk menekan room chat  paling atas, itu dari kakaknya. Sepertinya mereka sudah sampai di Tokyo sejak tadi malam.

 Sepertinya mereka sudah sampai di Tokyo sejak tadi malam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kageyama tersenyum tipis, lalu menutup ponselnya. Sudah pukul delapan lewat, dan Hinata masih tertidur. Itu tidak biasa, selalunya lelaki itu pasti bangun sebelum matahari benar-benar terbit.

Kageyama berencana membiarkannya, lebih baik jika Hinata memiliki istirahat yang cukup. Dia berpikir tidurnya Hinata sampai saat ini adalah pembayaran dari begadangnya kemarin.

Tapi semakin Kageyama menunggu, semakin aneh rasanya. Sudah lewat kurang lebih dua jam, tapi Hinata tidak bangun-bangun juga. Dia mulai gelisah dan memutuskan untuk mendekati bangsal.

"Hei, Hinata, kau belum bangun juga? Dasar tukang tidur." Kageyama menggoyangkan sedikit bahu kecil Hinata, mencoba membangunkan pria itu. "Kau belum mati, jadi seharusnya masih bisa bangun."

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Tak ada jawaban.

Kageyama menggeretakkan giginya dengan kuat lalu menekan bel emergency di dinding dengan kuat.

.

.

.

Pesan singkat telah dikirim.

Kageyama duduk di kursi tunggu di depan ruangan dengan gelisah. Kakinya tidak berhenti bergerak, keringat dingin mengalir dan nafasnya tidak teratur. Sesekali menggigit kukunya sendiri hingga berdarah. Matanya yang basah bergerak ke segala arah, mencari-cari sesuatu yang tak ada. Dunia terasa lambat dan kabur, setiap detik yang berlalu terasa seperti selamanya.

Hal yang paling ditakuti Kageyama akhirnya terjadi. Saat Hinata tak sadarkan diri, koma, kritis. Ia menebak jika di alam bawah sadarnya makhluk itu pasti tengah menyeret Hinata kembali ke lubang kuburan.

Kageyama merasa sedikit takut untuk mendengar apa yang dikatakan dokter ketika dia keluar dari ruangan suram itu. Kageyama takut jika dokternya mengatakan tidak perlu menunggu Hinata bangun, karena itu tidak akan pernah terjadi.

"Jeruk. Aku harus membelikan jeruk untuknya."

Sekarang Kageyama persis seperti robot rusak yang terus mengulangi kalimat yang sama. Ia berusaha tetap berpikiran positif dan memaksa kakinya bangun untuk sekedar membeli jeruk segar di luar sana. Berharap jika Hinata bangun, pria itu bisa memakannya, walau satu iris.

.

.

.

Hari sudah menjelang sore, dan suasana kamar tetap sepi. Yang bisa Kageyama lakukan hanya duduk di kursi tepi bangsal, melihat tubuh Hinata yang diam dan dingin. Ia menatap tangan kurus Hinata yang terkulai di sisi tubuhnya, begitu kurus hingga urat-urat biru halus terlihat jelas melingkari tulang yang menonjol di bawah kulitnya.

Kageyama terus menatap cemas pada alat elektrokardiograf yang berada di sisi lainnya. Khawatir jika suara lambat dan lemah dari benda itu tiba-tiba hilang, berhenti berbunyi.

Dingin. Sangat dingin. Telapak tangan Kageyama rasanya nyaris membeku. Kedua tangannya saling terkatup dan sedikit gemetar.

Keranjang jeruk baru sudah ada di meja.

Tidak tersentuh saat biasanya benda itu sudah akan langsung terbongkar kurang dari satu jam.

Suara pintu yang digeser pelan membuyarkan lamunan Kageyama. Ia menoleh, dan mendapati Tsukishima dan Yamaguchi terdiam di depan pintu. Wajah Yamaguchi terlihat sangat sedih, hampir menangis. Sementara yang satunya lebih ke tampak ragu, harus masuk atau tidak.

"Masuk saja." Suara Kageyama bergetar.

Yamaguchi berjalan perlahan di belakang Tsukishima, ia menggenggam kecil ujung cardigan hitam pria itu. Bibirnya sudah bergetar sedari tadi, dan matanya mulai berkaca-kaca.

Dia tampak sedikit ketakutan.

Saat melihat wajah pucat Hinata, ia sempat menjengit kaget lalu dengan cepat melihat Kageyama yang sedang berada dalam wajah kosongnya. Yamaguchi merasa tidak memiliki hak untuk menangis karena Kageyama yang sangat dekat dengan Hinata saja tidak menangis. Jika dibandingkan dengannya, Yamaguchi bukan apa-apa selain kenalan sekelas.

Tapi tetap saja, di antara semua orang di kelas yang tidak memedulikan Hinata, Yamaguchi lah yang paling sering mengajak pria itu berinteraksi.

"Maaf .... Aku ....." Yamaguchi bersusah payah menyeka air matanya yang merembes keluar dari sudut matanya. Pria itu membalik tubuhnya, membelakangi Kageyama dan Hinata.

Kageyama tidak menanggapi, tatapannya tak pernah bergerak sekali pun dari alat pengukur detak jantung itu.

Seiring waktu beranjak ke malam hari, orang-orang yang datang ke ruangan itu pun silih berganti. Ada manajer voli, guru di sekolah dan teman-teman sekelas lain. Ada yang datang hanya untuk sekedar melihat atau menangis.

Ya, yang bisa orang-orang lakukan pada akhirnya hanyalah menangis dan bersedih.

To Be Continued

𝕃𝕒𝕤𝕥 𝕎𝕚𝕟𝕥𝕖𝕣 | 𝕂𝕒𝕘𝕖ℍ𝕚𝕟𝕒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang