︵‿︵‿୨♡୧‿︵‿︵
𝕊𝕥𝕠𝕡 𝕞𝕒𝕜𝕚𝕟𝕘 𝕙𝕚𝕞 𝕝𝕠𝕠𝕜 𝕤𝕥𝕦𝕡𝕚𝕕.
︶꒦꒷♡꒷꒦︶
***
"Kageyama!"
Yang dipanggil lantas tersentak dari lamunannya. Ia menoleh, dan mendapati teman sepergaulannya sudah menumpuk di depan pintu.
"Kantin?"
Kageyama mengerjap pelan, sembari berdiri dari kursinya. "Sepertinya tidak dulu."
Daripada menghabiskan waktu bersama mereka, Kageyama kini lebih memilih ke belakang sekolah hanya untuk menemui si pria jingga.
"Pergi untuk menemuinya lagi?"
Suara itu datang dari belakang, saat Kageyama menoleh, tampaklah pria jangkung berkacamata tengah bersandar pada dinding koridor, melipat tangan di dada dengan headphone putih nirkabel yang melingkari leher putihnya.
Kageyama mengerutkan kening. Ia mengenali pria itu, Tsukishima Kei, tukang kompor dari kelas sebelah. Disebut seperti itu karena katanya dia memiliki mulut yang sangat lemas, yang saking lemasnya sampai bisa membuat orang emosi.
Ia tidak terlalu mengenal pria ini, jadi Kageyama cukup terkejut ketika tiba-tiba diajak berbicara olehnya. "Ya ...?"
"Lebih baik berhenti."
Kening Kageyama berkerut tak suka. Benar-benar memancing emosi. "Hah?!"
Tsukishima memasukkan kedua tangannya pada saku celana saat ia mendekat pada Kageyama. Tidak ada ekspresi sarkas di wajahnya, seolah apa yang ia katakan tadi bukan sekedar candaan.
"Aku bilang lebih baik berhenti. Apa kau tuli?"
Kageyama mendecak kesal menanggapi itu. "Kenapa aku harus?" Sesaat kemudian baru Kageyama ingat jika pria di depannya merupakan teman kelas Hinata.
"Dia sakit."
"Berhenti mengatakan orang gay itu sakit!" sergah Kageyama cepat. "Mereka tidak sakit! Mereka hanya berbeda!" Tidak ingin mendengar kalimat-kalimat pedas Tsukishima, Kageyama segera melangkah menjauh dari sana, membuat si pria kacamata hanya menghela nafas.
"Tsukki!" Pria dengan freckles manis di wajahnya datang menghampiri Tsukishima dari belakang. "Hm? Ada apa? Kau terlihat tidak senang."
Bagaimana bisa Yamaguchi mengetahui emosi di balik wajah yang ekspresinya hanya itu-itu saja?
"Hm, tidak ada." Tsukishima menatap Yamaguchi lekat-lekat. "Yamaguchi, katakan, jika seandainya besok aku sudah tiada, bagaimana reaksimu?"
Mendengar itu senyum Yamaguchi luntur seketika. Matanya mengerjap pelan, mencoba memproses makna kalimat itu lebih dalam. Tapi tak peduli berapa kali ia mencerna ulang, arti yang ia temukan dari kata 'tiada' itu hanya satu.
Tsukishima Kei mati.
"Eh?! T-tentu saja aku akan sangat sedih! Aku akan sedih sampai kehilangan nafsu makan! Bahkan mungkin jadi tak minat main voli lagi! Sangat sedih sampai ...." Yamaguchi mencoba mencari kalimat untuk menggambarkan emosinya, tapi tak kunjung menemukan. Pria itu mengacak-acak rambutnya frustasi. "Aaah! Pokoknya sangat sedih!"
Tsukishima terkekeh pelan saat mendengar terlalu banyak kata 'sedih' dari Yamaguchi. "Jika aku tidak memberitahumu soal penyakit yang kuderita, apa kau akan marah?"
Yamaguchi merasa isi kepalanya mulai berantakan. "Tentu saja aku marah! Tapi ...." Ia menunduk, menatap ujung sepatunya yang berdebu. "Memberitahu atau tidak, itu keputusanmu, jadi aku tidak bisa mengamuk."
Yamaguchi kembali mengangkat kepalanya. "Memangnya apa yang terjadi? Apa kau merasa sakit? Di mana?!" tanya Yamaguchi secara beruntun.
Tsukishima tersenyum tipis sembari mengacak rambut halus sahabatnya itu. "Tidak ada. Aku hanya bertanya."
Alih-alih memerah seperti biasanya, Yamaguchi malah menyipitkan matanya, menatap curiga ke arah Tsukishima. "Yang benar?"
"Iyaa! Ayo ke kantin, aku lapar sekarang." Tsukishima berjalan mendahului Yamaguchi. Ekspresinya kembali netral seperti semula.
"Sepertinya kau tidak akan mengerti sebelum waktunya, Kageyama."
***
"Heh?"
Kageyama mengerjap cepat lalu menoleh ke kanan-kiri saat mendapati Hinata tak lagi berada di sana. Ia bahkan sampai mengitari pohon maple itu, berharap menemukan catatan atau apa pun yang memberitahu keberadaan pemuda itu.
"Ke mana perginya? Apa dia pindah tempat karena tidak nyaman di dekatku? Tapi dari kemarin baik-baik saja! Dia bahkan sempat tersenyum!" Kageyama mulai bermonolog.
"Kageyama."
Yang dipanggil menoleh, dan barulah ia bisa bernafas lega saat pria berambut sewarna jeruk itu tertangkap oleh pandangannya. "Hinata!" Kageyama berlari menghampiri Hinata. "Kau dari mana saja?"
"Aku baru keluar kelas." Melihat Kageyama yang mengerjap bingung, Hinata melanjutkan, "Kau sendiri yang bilang jika harus masuk kelas sesekali 'kan?"
"Ha ...." Kageyama mengerti sekarang alasan kenapa Tsukishima tiba-tiba membahas Hinata.
Hinata tersenyum kecil lalu melanjutkan langkahnya hingga ke bawah pohon maple, ia tak mengatakan apa-apa lagi saat Kageyama ikut duduk di sampingnya. Dia mengoceh panjang lebar pun tak akan didengar juga.
"Hei, kau punya masalah dengan anak tinggi itu?" tanya Kageyama tiba-tiba.
"Anak tinggi?"
"Ituloh. Si ... Tsukishima Kei."
Hinata menggumam panjang, kemudian menggeleng. "Saat masuk kelas tadi dia hanya menatap, tak berbicara denganku sama sekali. Tatapannya memang menyebalkan, tapi ... ya sudahlah ya."
Kageyama membuat ekspresi wajah tak suka. Teringat kembali percakapannya dengan pria itu di lorong kelas. "Pokoknya kalau dia ajak bicara, jangan didengar!"
Tapi Hinata tetaplah Hinata, dia begitu cepat melupakan apa yang Kageyama katakan. Melupakan perintah jika tidak seharusnya ia berhenti ketika Tsukishima menahannya.
Seperti saat ini, ketika Hinata baru saja akan memasuki toilet, ia tak sengaja menubruk tubuh pria jangkung yang Kageyama bicarakan tadi.
Yang lebih pendek mengerjap cepat, memegangi hidungnya yang agak sakit sembari mengucapkan serangkaian kata maaf. Saat ia baru akan melewati Tsukishima, pria itu malah menahannya.
"Tunggu."
Dan dengan polosnya Hinata berbalik, melupakan apa yang dipinta Kageyama. Meski ia ingat, belum tentu Hinata melakukannya. Jadi sebenarnya ya sama saja.
Tsukishima menatap Hinata datar, ia mengamatinya dari ujung rambut hingga ujung sepatu. "Sampai kapan kau akan tetap diam?"
Hinata terdiam. Hal itu memang bukan rahasia lagi di kelasnya, tapi semua sepakat untuk diam dan tidak mengumbar ke kelas sebelah.
"Kau berencana terus diam, menunggu waktumu habis tanpa memberitahunya?" tanya Tsukishima lagi saat melihat Hinata tetap diam. Ia mendecak kesal. "Berhenti membuatnya terlihat lebih bodoh dari ini. Sangat menyedihkan tau? Setidaknya biarkan dia tau."
Hinata menggenggam syal putih yang selalu melingkari lehernya, mata hazelnya menatap tepat ke iris Tsukishima. Senyum getir terukir di bibir tipisnya yang agak pucat saat ia mencoba tersenyum. Dapat ia rasakan pasokan udara yang seharusnya masuk tiba-tiba berkurang, rasa sesak kembali menyerang, membuat pandangannya agak berputar.
"Tapi tenang saja, aku tidak berencana membiarkan dia menjadi bodoh begitu lama."
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
𝕃𝕒𝕤𝕥 𝕎𝕚𝕟𝕥𝕖𝕣 | 𝕂𝕒𝕘𝕖ℍ𝕚𝕟𝕒
FanfictionSelain membenci musim dingin, Kageyama juga tidak pernah menyukai anak penyendiri itu. Pemuda berambut oranye yang seolah memiliki dunianya sendiri. Namun semakin Kageyama mencoba mengabaikannya, semakin kuat keinginannya untuk masuk dan menarik p...