︵‿︵‿୨♡୧‿︵‿︵
𝕃𝕒𝕤𝕥, 𝕓𝕦𝕥 𝕟𝕠 𝕥𝕙𝕖 𝕖𝕟𝕕.
︶꒦꒷♡꒷꒦︶
***
Salah satu faktor penyebab fibrosis paru adalah faktor genetik.
Sampai orang tuanya tiada pun Hinata tidak pernah tau jika salah satu dari mereka pernah mengidap penyakit itu. Entah siapa yang menurunkan itu padanya.
Masih segar di ingatannya bagaimana rasa sakit yang menelusup ke dadanya saat ia melompat ke udara untuk memukul umpan dari setter-nya.
Saat itu ia mengikuti spring tournament yang diadakan di luar kota. Acara itu mungkin merupakan pertandingan terakhir yang bisa Hinata ikuti, mengingat ia merupakan tahun terakhir di sekolahnya.
Kedua tim berada dalam posisi sulit, terus saling mengejar. Hinata dan anggota timnya tau, satu kesalahan saja bisa membuat tim lawan memperoleh satu poin, dan pertandingan final selesai.
Namun saat si setter memberikan toss padanya, Hinata melompat ....
Tinggi sekali.
Rasa sakit menyeruak tiba-tiba, menghentikan gerakan tangannya di udara. Tubuh Hinata seketika terjatuh ke lantai, nyaris bersamaan dengan jatuhnya bola di lapangan mereka.
Suasana di tempat itu membeku, semua mata memperhatikan dengan tegang apa yang terjadi. Tak lama suara peluit wasit terdengar, diikuti dengan sorak sorai tim lawan.
Hinata terbaring tak bergerak, matanya menatap lurus ke langit-langit gimnasium. Nafasnya menderu, dadanya naik turun dengan cepat, setiap helaan nafas terasa menusuk. Rasa frustasi karena kalah dan tatapan orang-orang seakan ikut menambah beban berat di hatinya.
Hinata mencoba bangkit, ia meremas dadanya sembari terbatuk-batuk. Sekujur tubuhnya seketika dipenuhi keringat, rasa pusing ikut menyerang ketika pasokan oksigen berkurang.
Ia masih dapat mendengar sayup-sayup seruan temannya yang datang mengerumuni sebelum semua tiba-tiba menjadi gelap.
***
"Kau mengidap fibrosis paru."
Hinata bisa mendengar suara retakan yang datang dari kepalanya. Entah apa itu, tapi ia seakan bisa melihat gambar di mana dirinya yang memegang piala dan mengenakan medali menjadi retak dan hancur.
"Apa kau mendapatkannya dari genetik? Penyakit ini ...."
Bla ... bla ... bla ....
Semua kalimat yang diucapkan pria berjas putih di depannya terdengar kabur di telinga Hinata. Ia menunduk, menatap kosong sepatu olahraganya.
"Aku tidak bisa memastikan sejak kapan luka-parut ini muncul, tapi sepertinya komplikasi muncul karena kelelahan yang berlebih." Dokter dengan nametag Shirabu Kenjiro itu menunjuk bekas luka yang terbentuk di paru-paru kiri dan kanan Hinata pada hasil x-ray.
Lukanya cukup lebar, mungkin sebesar kepalan tangan bayi, ada juga yang berbentuk memanjang dan bercabang seperti serabut.
"Kau memainkan voli bukan? Bukankah lebih baik berhenti saja?"
Kalimat Shirabu menyentak Hinata. Ia segera mengangkat kepala, menatap pria itu dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
"Aku mengatakan ini demi kebaikanmu. Mungkin agak kasar, tapi terus bermain hanya memperpendek waktu hidupmu. Pengobatan tidak akan banyak membantu, karena dari awal penyakit ini tidak bisa disembuhkan. Transplantasi paru-paru adalah jalan satu-satunya."
Shirabu mengatakannya dengan lancar. Tanpa beban. Ya, memang seharusnya begitu.
Hinata mengulum bibirnya yang terasa kering. Ah, bahkan untuk hanya mengucapkan beberapa kata rasanya sangat sulit. "Berapa lama waktu yang kumiliki?"
Sang dokter meraih selembar kertas di mejanya, meneliti isinya, cukup lama sebelum ia kembali bersuara, "Mungkin sampai musim dingin tahun depan?"
Itu mengakhiri mimpi Hinata.
Apakah ini salah orang tuanya? Tidak, itu salah Hinata. Salahnya yang berangan terlalu tinggi. Salahnya yang masih berani bermimpi untuk menjadi atlet voli nasional, meski dalam kondisi yang tidak mendukung sekalipun.
Hinata memutuskan untuk tidak menjalani pengobatan rawat inap di rumah sakit. Ia hanya mengambil beberapa obat pereda nyeri yang diresepkan dokter, hanya sebagai alat untuk mengurangi rasa sakit dan gejala lainnya.
Hinata berhenti berteman. Saat ke sekolah pun ia menahan diri untuk tak berbicara dengan teman-temannya. Saat ada yang mengajak bicara lebih dulu, ia hanya akan tersenyum dan berkata, "Aku sakit, jangan dekati aku."
Ah, penyakit itu bahkan tidak menular.
Hinata merasa harus mengisolasi diri sesegera mungkin, agar terbiasa. Karena dari awal ia memang berniat untuk mati sendiri, tanpa ada seorang pun yang melihat.
Hinata tidak butuh seseorang untuk bersedih untuknya.
Musim salju adalah hal yang paling dinantikannya. Meski itu berarti adalah musim salju terakhir, Hinata tetap menantikannya, karena berada dalam realita di mana ia tak bisa melanjutkan impiannya sudah cukup menyakitkan.
Tak jarang Hinata menerima tatapan keheranan dari orang-orang ketika ia keluar dengan pakaian musim dingin di cuaca panas. Meski matahari terik sekalipun, Hinata sedikit kesulitan untuk merasakan hangatnya lantaran tubuh yang selalu menggigil tiba-tiba.
Terus begitu hingga ia kembali menjadi tahun pertama di sekolah menengah atas. Tidak bergaul menjadi agak lebih mudah di lingkungan yang baru.
Berjalan dengan baik hingga seruan dari si rambut raven membuatnya menoleh. Kageyama, pria itu mengajaknya bicara, menanyakan pertanyaan yang mungkin terlintas di benak semua orang.
"Kau ini ... selalu saja duduk di sini sendirian. Apa yang kau lakukan?"
Hinata meneguk salivanya kasar. Setengah mati ia menjaga wajah poker dan berusaha tidak memberi respon berlebih. "Kenapa bertanya? Itu bahkan bukan urusanmu."
"Hah?!"
Sudut bibir Hinata yang terbalut syal berkedut. Melihat ekspresi Kageyama yang marah-marah seperti itu agak lucu.
"Terserah kaulah! Dasar aneh! Aku tidak akan berbicara denganmu lagi!"
Hinata hanya menatap pria itu menjauh dengan langkah yang sedikit lebar dan agak terburu-buru. Ia mengalihkan pandanganya kembali ke langit bersih tanpa awan itu.
"Aku ...."
Ah, mungkin tidak seharusnya Hinata berbicara lagi. Meski ia tidak melihatnya, ia tau jika Kageyama telah menghentikan langkahnya.
"Aku menunggu langit membawakan salju untukku."
Jika saja Hinata tidak mengatakan kalimat itu, akankah Kageyama tetap kembali esok hari untuk membawakannya sekotak susu?
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
𝕃𝕒𝕤𝕥 𝕎𝕚𝕟𝕥𝕖𝕣 | 𝕂𝕒𝕘𝕖ℍ𝕚𝕟𝕒
FanfictionSelain membenci musim dingin, Kageyama juga tidak pernah menyukai anak penyendiri itu. Pemuda berambut oranye yang seolah memiliki dunianya sendiri. Namun semakin Kageyama mencoba mengabaikannya, semakin kuat keinginannya untuk masuk dan menarik p...