︵‿︵‿୨♡୧‿︵‿︵
𝕀𝕥 𝕜𝕚𝕝𝕝𝕤 𝕞𝕖 𝕙𝕠𝕨 𝕪𝕠𝕦𝕣 𝕞𝕚𝕟𝕕 𝕔𝕒𝕟 𝕞𝕒𝕜𝕖 𝕪𝕠𝕦 𝕗𝕖𝕖𝕝 𝕤𝕠 𝕨𝕠𝕣𝕥𝕙𝕝𝕖𝕤𝕤.
︶꒦꒷♡꒷꒦︶
***
Hinata merajuk.
Itulah yang ada di pikiran Kageyama saat pria itu tak juga membalas sapaannya. Ia terus memikirkan apa kesalahan yang telah ia lakukan sebelum akhirnya menyadari, jika itu pasti tentang toss kemarin.
"Kau marah padaku?" tanya Kageyama yang hanya dibalas dengusan pendek Hinata. Pria itu memeluk lutut, sembari menyembunyikan setengah wajahnya di sana. Sudah jelas, ia marah.
Kemarin Kageyama memaksa untuk tak melanjutkan meski Hinata merengek. Walau Kageyama menjanjikan lain waktu, tetap saja itu sudah menghancurkan mood Hinata.
Hinata berdiri dari duduknya lalu melangkah pergi, meninggalkan Kageyama sendiri di bawah pohon maple. Kageyama tak bisa melakukan apa pun selain menghela nafas dan menatap punggung pria itu hingga menghilang di balik gedung sekolah. Ke mana Hinata pergi ia juga tak bisa menebaknya. Kageyama merasa tak perlu mengikuti, takut Hinata nanti risih.
Kageyama menghabiskan waktu beberapa menit hanya untuk melamun, sebelum bangkit dari posisinya. Kedua tangan ia masukkan ke saku celana, berjalan sembari memikirkan kemungkinan di mana Hinata berada, entah mengapa ia merasa tidak bisa membiarkan pria itu berkeliaran sendiri terlalu lama di sekolah.
Prangg!
Kageyama tersentak begitu mendengar suara pecahan kaca itu. Ia segera membawa tungkainya beralih menuju asal suara, dan benar saja, sesuatu yang pecah itu adalah jendela ruangan kepala sekolah.
Di sana Hinata mematung dengan wajah ketakutan. Tangannya terbuka di depan dada, apa yang baru saja pria itu lempar ke dalam?
"Hinata."
Pria jingga itu lantas menoleh, wajahnya jelas terkejut, mata coklat madu itu bergetar, seolah perbuatannya memecahkan jendela saat ini setara dengan kejahatan kelompok yakuza.
"Kageyama ...." Suaranya tercekat.
"Siapa anak nakal yang melempar bola ini kemari?!" Teriakan pria menggelegar dari ruangan yang jendelanya pecah, membuat Hinata dan Kageyama berjengit kaget, dapat keduanya pastikan jika itu pasti sang kepala sekolah.
"Hn!" Pria bertubuh gempal itu menghentakkan kakinya ke tanah dengan kuat, membuat butiran debu berterbangan ke udara, tangannya membawa bola voli yang baru saja nyasar ke ruangannya. Wig yang ia gunakan terlihat sedikit miring, jadi mungkin benda itu juga sempat mengenai kepalanya.
Urat-urat dahinya terlihat saat mendapati Kageyama seorang berdiri di sana.
Ya, sendirian.
"Kageyama-kun! Kau pelakunya?!"
"Iya, itu saya." Kageyama membungkukkan tubuhnya, mengaku atas kesalahan yang sama sekali tidak ia perbuat. "Maaf atas kecerobohan saya."
Kepala sekolah menggeram, lalu mengarahkan telunjuknya ke lapangan sepak bola. "Lari keliling lapangan lima kali jika tidak ingin diskorsing!"
Kageyama tak mengatakan apa-apa lagi, ia hanya mengangguk lalu berlari menuju lapangan hijau itu, melaksanakan hukuman yang diberikan.
Dari balik dinding, pria dengan helaian oranye itu memberanikan diri untuk mengintip. Perasaan bersalah seketika menyelimutinya saat melihat Kageyama yang berlari di bawah terpaan terik raja siang.
Sesaat sebelum kepala sekolah datang, Kageyama tiba-tiba mendorongnya, memintanya agar bersembunyi di sana. Hinata ingin menolak, tapi Kageyama benar-benar memaksa.
.
.
.
Lima putaran selesai.
Kageyama berjalan gontai dengan nafas ngos-ngosan. Entah sejak kapan kepala sekolahnya itu sudah tidak ada di sana. Tujuannya saat ini adalah pohon maple, rasanya Kageyama ingin segera berbaring di bawah kanopi lebatnya yang teduh.
Angin berhembus, bersamaan saat pria dengan rambut sewarna jeruk itu masuk dalam jarak pandangnya. Dia duduk bersila, memainkan ujung syalnya. Saat merasakan kehadiran orang lain, pria itu mengangkat kepalanya.
Mata mereka bertemu bersamaan dengan angin sejuk yang tiba-tiba berhembus, membuat Kageyama mengukir senyum lembut tanpa sadar. Ah, entah bagaimana lelahnya langsung hilang saat melihat wajah itu.
"Menungguku?" tanya Kageyama saat ia sudah berdiri di depan Hinata.
Pria itu tak menjawab, ia malah menyodorkan sekotak susu vanila pada Kageyama. "Aku tak akan berterimakasih, karena yang tadi itu aku sama sekali tidak memintamu melakukannya."
Kageyama terkekeh pelan setelah meraih minuman itu. Lalu untuk apa minuman itu jika bukan bentuk terima kasih? Ia mendudukkan diri di dekat Hinata, menyedot isi minuman itu cukup lama.
"Jika kau yang mengambil hukumannya, apakah kau bisa melakukannya tanpa pingsan?" Terdapat nada menyindir pada kalimat Kageyama yang membuat Hinata mendengus kesal.
"Ya, ya! Maaf atas kerusakan tubuh ini!"
"Sebenarnya apa yang kau lakukan? Kenapa bola voli bisa terlempar ke sana?"
"Aku bermain dengan dinding, lalu secara tidak sengaja bola mengarah ke sana," jawab Hinata singkat, ia menatap lurus ke depan.
"Kenapa tidak di gimnasium?"
"Aku sempat ke sana, tapi anak-anak voli sedang menggunakannya. Yamaguchi sempat melihatku dan memanggilku untuk masuk, tapi aku tidak mau, jadi dia hanya memberiku bola," jelas Hinata, ia menekuk lutut saat merasakan hembusan angin yang terlalu kuat. Tangannya juga bergerak merapikan syalnya yang sedikit melonggar.
Kageyama yang mendengar itu mengerutkan kening. "Tidak masuk? Apa karena kau bukan anak voli?"
"Itu salah satu alasannya, sementara yang lain adalah aku merasa tak pantas berbaur dengan mereka."
"Kenapa?"
Hinata menoleh. "Tentu saja karena aku sakit. Berada di sini saja sudah terasa aneh untukku, karena tempatku yang seharusnya adalah rumah sakit, tapi apa yang bisa aku lakukan? Aku juga membenci itu."
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
𝕃𝕒𝕤𝕥 𝕎𝕚𝕟𝕥𝕖𝕣 | 𝕂𝕒𝕘𝕖ℍ𝕚𝕟𝕒
FanfictionSelain membenci musim dingin, Kageyama juga tidak pernah menyukai anak penyendiri itu. Pemuda berambut oranye yang seolah memiliki dunianya sendiri. Namun semakin Kageyama mencoba mengabaikannya, semakin kuat keinginannya untuk masuk dan menarik p...