Prolog

465 36 7
                                    

Suara baling-baling helikopter yang memekakkan telinga menghiasi atap apartemen. Seorang pria dengan tubuh tinggi tegap nan gagah turun dari helikopter itu, jas hitam yang melekat di tubuhnya menambah kesan formal darinya. Bahkan pria itu memakai topi fedora serta kacamata hitam, seperti agen mafia di film-film kebanyakan. Saat ia melangkah di lahan parkir helikopter itu, berpuluh-puluh anak buahnya berbaris membentuk jalan dan saling berhadapan hanya untuk memberi sambutan selamat datang kepadanya dengan kompak.

Meskipun begitu, ia mengacuhkan sambutan dari orang-orang yang bekerja untuknya. Ia tetap stay cool hingga sebuah suara anak kecil memanggilnya dari ujung barisan sambutan.

"Ayah!"

Wajah keduanya sumringah, yang dipanggil ayah pun langsung tersenyum bahagia dan kemudian melepas kacamatanya, membiarkan image dingin ala seorang bos itu hancur di hadapan anak buahnya.

"Halilintar, anakku sayang!" Ia menumpukan sebelah kakinya, membuka pelukan untuk sang anak yang mulai berlari.

Di belakang anaknya yang dipanggil Halilintar, seorang wanita yang masih kisaran kepala dua ikut berjalan menghampiri.

Mereka bertiga berpelukan, melepas rindu setelah bertahun-tahun tidak bertemu. Halilintar di gendongan ayahnya pun tidak mau melepaskan pelukannya barang sedetikpun, anak yang berusia delapan tahun itu terlalu merindukan sosok sang ayah yang telah pergi untuk bertugas demi menafkahi anaknya.

"Aku pulang, sayang." Bisiknya pada sang istri kemudian mengecup keningnya sayang.

Istrinya tersipu dengan tindakan tiba-tiba itu. Sudah bertahun-tahun tidak bertemu tetapi suaminya itu masih tetap romantis seperti biasanya. "Terima kasih sudah kembali dengan selamat, Amato."

Yang dipanggil Amato pun tersenyum tipis, mereka akhirnya pergi meninggalkan atap apartemen itu untuk turun menuju unit mereka, mengacuhkan para anak buah yang iri menyaksikan betapa harmonisnya keluarga kecil itu.

Beralih ketika mereka sudah masuk ke dalam rumah yang menurut mereka kecil. Halilintar masih tetap dalam gendongan sang ayah, benar-benar enggan melepaskan. Sembari perjalanan dari atap menuju unit mereka pun Halilintar terus mengoceh bahkan di saat sang ayah sudah duduk ke dalam sofa.

"Ayah! Bagaimana dengan perjalanan ayah? Lain kali, bolehkah Hali ikut bersama ayah? Hali sudah pandai latihan menembak kemarin bersama uncle Pian!" Binar di matanya membuat siapapun yang melihat Halilintar saat ini pasti merasa gemas.

Sang ayah hanya tertawa pelan, berusaha tidak menjawab pertanyaan dari sang anak. "Anak ayah pintar sekali. Tapi, bukannya Hali senang jika ayah di rumah? Jadi, tidak perlu lah untuk pergi, bukan begitu?"

Binar sang anak meredup, netra merah pekatnya berusaha membujuk sang ayah agar memperbolehkannya pergi ikut bersama sang ayah. "Alaa. Boleh ya, ayah? Boleh, ya? Boleh, ya?"

Amato tercengang, darimana Halilintar belajar membujuk seseorang dengan cara imut seperti ini? Dengan cekatan, ia membuka kamera di ponselnya dan langsung memotret sang anak.

'Anakku lucu sekali!!' Ia menjerit dalam hati, jika ini dunia komik, mungkin saja jantung Amato akan di gambarkan sedang terpanah oleh keimutan anaknya.

Halilintar yang tidak mendapat respon pasti dari ayahnya pun merajuk dengan menggembungkan pipinya.

Tapi tiba-tiba terlintas sesuatu di benaknya sehingga perasaannya pun berubah riang kembali. "Ayah, kalau sudah besar nanti, Hali akan jadi seperti ayah!"

Keheningan tercipta, tidak ada suara dari kedua orangtuanya. Mereka terdiam membisu.

Halilintar kecil yang kebingungan itu pun berusaha menyadarkan lamunan sang ayahanda dan ibunda yang berada di dapur.

AdamantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang