Sect. XII: 十三

177 23 4
                                    

"Apa?! Aku gak setuju!"

"Fan...." Gempa menatap nanar Taufan yang berada di hadapan Halilintar.

Setelah perbincangan dengan sang petinggi militer, Halilintar kembali menemui teman-temannya untuk memberitahukan kepergian dirinya, bertajuk misi ekspedisi, begitulah yang Halilintar utarakan. Tetapi, sayangnya sang sahabat sudah keburu tantrum duluan dengan misi itu.

Taufan menggertakan giginya marah. "Kamu gak boleh pergi, Hali! Kamu harus tetap disini, pokoknya aku gak ngijinin kamu pergi!"

"Taufan, percaya sama aku. Semuanya bakalan baik-baik aja, Maripos akan turut serta temaniku ekspedisi kok, kamu gak perlu khawatir." Halilintar menepuk pundak sahabatnya itu dengan pelan, tetapi malah ditepis oleh pemuda penyuka warna biru itu dengan geraman.

"Semua! Semua orang selalu bilang gitu, bundaku, teman kita, semuanya! Mereka selalu bilang semuanya akan baik-baik aja, tapi apa faktanya, Hali? Bundaku meninggal, Papa Zola meninggal, teman kita meninggal, apa sekarang kamu mau ikut ninggalin aku juga?!" Taufan menjerit, air matanya sudah tak terbendung lagi.

"Taufan!" Gempa menengahi.

"Aku cuma bicara fakta! Aku gak mau kamu mati!"

Hening.

Hanya ada suara nafas Taufan yang terengah-engah setelah perdebatan tadi. Halilintar memeluk Taufan erat, membuat sang empu terkejut tetapi kemudian langsung melampiaskan amarahnya melalui tangisan.

Gempa menggigit bibirnya, ia juga sebenarnya tidak mau membiarkan Halilintar pergi. Katakanlah dirinya egois, tetapi ia tak mau kehilangan figur seorang teman yang berarti baginya.

"Kumohon, Hali.... Jangan pergi..." Taufan jatuh terduduk bersimpuh dari posisi berdirinya, membuat mereka berdua terkejut.

"Fan, jangan kayak gini..." Halilintar turut menyamakan tingginya dengan Taufan yang bersimpuh.

"Taufan, aku yakin Halilintar akan kembali..." Gempa menghampiri kedua kawan karibnya itu dan menepuk pundak mereka.

Taufan menggeleng frustasi, isakannya semakin keras. "Aku gak mau, kamu selalu memintaku untuk mengerti, tapi kumohon Hali.... kali ini, aku lelah harus selalu mengerti dirimu! Aku gak mau kehilangan kamu! Kalian satu-satunya yang aku punya sekarang!"

Jantung Halilintar mencelos, tanpa sadar air matanya turun mengalir. Ia kemudian memeluk Taufan erat, bersama dengan Gempa.

Ketiga sahabat itu berpelukan seperti serial kartun di televisi, ketiganya punya harapan yang sama tetapi berbeda cara.

"Baiklah, aku mengerti. Sekarang kita pergi tidur aja ya? Udah larut malam." Halilintar menyeka air mata di pipi Taufan dan menoleh ke arah Gempa, memberi sinyal agar membawa Taufan ke tempat tidurnya.

Gempa yang mengerti langsung membopong Taufan bersama Halilintar untuk pergi dari pesisir dan menuju ke tenda mereka masing-masing.

Mereka baru saja hendak ke tenda selangkah lagi sebelum sebuah pelukan kecil menerjang Taufan. Rupanya itu Pipi, di belakangnya ada Kirana yang terlihat sedang menyuapi anak itu.

"Kakak!"

Taufan pun berpura-pura tersenyum, kemudian mensejajarkan tingginya dengan Pipi. "Anak cantik kok belum tidur?"

Pipi menggeleng. "Kata kak Kira, aku harus makan sebelum tidur, tapi makanannya ga enak!"

"Pipi, ga boleh gitu. Masih mending bisa makan loh, bersyukur." Halilintar menimpali.

"Tapiー"

"Nah, kalau Pipi berhasil habiskan semua, nanti kakak akan kasih Pipi permen ini! Pipi paling suka permen ini kan?" Gempa menyodorkannya sebuah permen karet yang menjadi kesukaan perempuan muda itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AdamantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang