Sect. XI: 十ー

137 22 7
                                    

Suasana berkabung masih menyelimuti mereka. Semua runtutan kejadian ini terjadi hanya dalam satu hari saja dan sudah memakan empat korban sekaligus, terlebih lagi kejadian itu ketika mereka bersama-sama. Tidak bisa dibayangkan ketika mereka berpecah.

Solar bahkan sudah tertidur dalam keadaan duduk karena terlalu banyak menangis, mata mereka juga terlihat lelah dengan segala rentetan kejadian yang merenggut nyawa teman, orang tua, dan orang terdekat.

Mereka hanya anak SMA yang dipaksa dewasa dengan keadaan.

"Aku mau pulang." Gentar bergumam, ia menekuk kedua kakinya dan meringkuk ketakutan. Untuk pertama kalinya, Gentar merasa sedih sebab ditinggal selamanya oleh partner in crime-nya.

Sopan yang di sebelahnya pun menepuk-nepuk kepala Gentar dengan lembut, berusaha menenangkan kawannya. "Sori dan Duri sudah tenang, doakan saja mereka ya?"

Gempa mengambil minuman yang berada di keranjang sebagai upaya menenangkan mereka semua. Yahーsetidaknya.

"Kenapa kita harus terus melarikan diri kalau kita bisa melawan mereka?" Gentar melempar botol minuman yang sudah remuk.

"Jangan bodoh, kamu mau ngelawan makhluk sebanyak itu darimana? Pegang senjata aja masih belum benar." Ucapan Halilintar menusuk hati Gentar dengan telak.

"Itu benar, untuk saat ini, lebih baik kita ikutin aja Maripos. Dia yang paling tahu tentang jalan menuju pangkalan militer." Glacier menoleh ke arah pemandangan langit yang ada di atas.

Hari semakin terik. Mereka yang berada di dalam truk itupun tentu saja kepanasan meskipun bagian belakangnya terbuka. Anehnya, Ice masih bertahan dengan hoodie tebal berbulu miliknya. Blaze bahkan sampai heran bagaimana bisa kembarannya itu bertahan dengan cuaca seterik ini.

"Aku penasaran berapa jam lagi kita akanーaduh!!" Blaze terjungkal, bahkan dirinya belum sempat untuk menyelesaikan ucapannya.

Yang lain pun sama, ohーmungkin hanya lebih menjaga image saja, seperti Halilintar yang dengan sigap menahan dengan kaki depan.

Bagaimana tak terjungkal? Maripos secara tiba-tiba menghentikan laju mobilnya dengan mendadak. Maka dari itu, Blaze pun hendak protes dan turun dari mobil itu, tetapi Maripos sudah terlebih dahulu turun dan berjalan ke belakang.

"Ada wanita yang terluka di depan. Kalian turun sana, cek dia masih oke atau nggak."

Oh astaga, perintahnya itu menyebalkan sekali. Tentu saja, tak ada yang mau mengorbankan diri mereka setelah kejadian yang merenggut empat nyawa itu.

Karena tak ada siapapun yang menjawab, maka Halilintar langsung berdiri dan beranjak dari tempatnya. Meskipun sempat ditahan oleh Taufan yang menahan airmata di ujung pelupuk matanya.

"Tak apa, Fan. Aku janji semuanya akan baik-baik saja."

Dengan itu, Halilintar melepaskan pegangan tangan Taufan dan turun dari truk CDE tersebut dengan berani.

"Dia di sana. Hati-hati, Hali. Jika kau merasa dia berbahaya, tinggalkan saja. Tapi jika dia ternyata tak terinfeksi, berikan aku sinyal supaya bisa membantumu." Maripos menepuk pundak Halilintar sebelum ia pergi, membuat Halilintar berdecak pelan.

"Dasar, kenapa kau harus menyuruh yang lainnya ketika kau bisa melakukannya sendiri, sih?"

"Hei, aku kan perlu siaga disini untuk menjaga yang lainnya. Udah, sana pergi."

Halilintar memutar matanya jengah. Ia kemudian mendekati seorang perempuan yang terbaring cenderung ke samping membelakangi dirinya. Nafasnya terlihat tersengal-sengal membuat Halilintar merasa ragu apakah perempuan ini masih ada peluang untuk hidup atau tidak.

AdamantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang