Sect. IX: 九

149 29 1
                                    

Halilintar terduduk diam di sebuah pohon besar, tangannya menumpu pada lututnya yang menekuk. Senjatanya diletakkan di tengah-tengah. Ia menatap langit malam, tak merasakan takut sama sekali sebab hatinya masih memikirkan perkataan Taufan tadi meskipun sudah berusaha dengan keras untuk tak ambil pusing dengan ucapannya.

Dirinya baru saja membantai habis makhluk yang berada di jalanan, tidak banyak, tetapi cukup untuk membuat Halilintar merasa puas untuk melampiaskan rasa kesal dan kecewanya. Tidak tanggung-tanggung, ia tidak menggunakan senapannya untuk menembak, melainkan menggunakan bayonetnya sebagai tombak untuk membabat habis makhluk itu.

Lelaki itu kalap, sedari tadi dirinya melihat telapak tangannya yang di balut perban oleh Kuputeri mulai mengeluarkan darah, padahal itu satu-satunya peninggalan berharga dari ibu keduanya itu. Meskipun dia ingin sekali melepaskan tembakannya untuk membunuh makhluk yang ada, ia masih tetap memikirkan kondisi mereka, bagaimana jika tembakan yang ia lesatkan malah berujung membawa petaka bagi teman-temannya? Halilintar tak mau itu terjadi.

Di kesunyian malam, indera pendengarannya mulai sensitif. Bahkan suara angin saja sudah terdengar di telinganya.

Srak!

Halilintar langsung bersikap waspada, bersiap menggunakan bayonetnya lagi jika yang menimbulkan suara adalah makhluk itu. Ia menoleh ke belakang dan menemukan Pipi sedang kebingungan mencari arah, dengan begitu dirinya langsung menghampiri Pipi dan menggendongnya.

"Pipi, kenapa kamu disini? Terlalu bahaya untuk kamu, lebih baik kamu pergi bareng yang lainnya."

Anak perempuan itu menggeleng pelan, matanya bahkan berkaca-kaca. "Gak mau, semua orang sedang marah sama kak Hali, padahal kak Hali sudah berusaha menyelamatkan semua orang. Aku mau bareng kak Hali aja!"

Halilintar tercenung mendengar pembelaan Pipi. Ternyata anak ini juga mengkhawatirkannya. Mau tak mau, Halilintar membawa anak itu kembali bersama yang lainnya. Cukup jauh jaraknya, ia bahkan bingung kenapa Pipi bisa berjalan sejauh ini tanpa pengawasan.

Ketika sampai, terlihat ada Gempa, Glacier, Supra, Sopan sedang berjalan sembari memanggil nama Pipi. Saat mereka melihat eksistensi Pipi yang digendong Halilintar, mereka semua lega dan langsung menghampiri keduanya.

Halilintar menurunkan Pipi dari gendongannya.

Sopan berlutut dan menggenggam kedua tangan mungil Pipi, berusaha tidak memberinya tekanan. Ia berucap lembut sekali. "Pipi, kenapa tiba-tiba pergi? Kakak-kakak disini sangat mencemaskanmu."

Pipi menangis tersedu-sedu seraya mengulang kata maaf, matanya berkaca-kaca tetapi malah membuat Sopan merasa gemas dengan tingkahnya. "Hei, tidak apa-apa, kakak tidak akan memarahi Pipi."

"Pipi oke? Ada yang luka?" Glacier bertanya khawatir dan dijawab oleh gelengan kepala anak perempuan itu.

Sementara di lain sisi, Halilintar malah dimarahi oleh Gempa. "Dari mana? Kamu harusnya tau aku tuh khawatir!"

Ralat, bukan marah tetapi lebih ke khawatir, terlebih ketika Gempa melihat darah pada tangan Halilintar yang terbalut perban. Halilintar hanya diam tak menanggapi membuat Gempa menghela nafas panjang. Ia kemudian memeluk sahabatnya.

"Ekhem, bukan bermaksud merusak suasana. Tapi mendingan kita segera pergi dari sini." Supra mengingatkan.

"Ah ya, benar. Ayo, Hali." Gempa menarik tangan Halilintar, tapi dia diam saja.

"Hali?"

"Kalian duluan aja, pergilah ke tempat selamat."

"Apa?" Mereka semua berhenti ketika mendengar ucapan Halilintar yang tak masuk akal.

AdamantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang