Sect. II: ニ

185 32 9
                                    

Hari semakin siang, tapi bahkan matahari tidak menunjukkan sinarnya sedikitpun. Yang ada hanya awan tebal dengan kabut asap di mana-mana. Halilintar terduduk di pinggir pembatas atap sekolah, ia meremat surai-surai merah kecoklatannya dengan kencang, pertanda bahwa dirinya stress dengan situasi yang terjadi. Ia memikirkan kondisi kakeknya yang sudah tua. Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya? Jika itu terjadi, rasanya Halilintar tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.

Taufan yang duduk di sebelahnya pun bersender pada Halilintar seraya menenangkan diri. Tangan sebelah kiri Halilintar tergerak untuk mengelus surai kepala Taufan sebagai upaya untuk menenangkannya.

"Kita gak bisa disini terus." Gempa yang berdiri di depan Halilintar pun mengungkapkan isi pikirannya.

"Dan membiarkan diri kita mati menjadi salah satu dari mereka? Aku sih menolak."

Gempa menghela napas mendengar penolakan Halilintar. "Dengarkan aku dulu, Hali. Kalau kita disini terus, yang ada kita bakal mati kelaparan dan dehidrasi. Apalagi Taufan, dia sering skip sarapan, aku yakin pagi ini dia belum isi perut sama sekali."

Taufan mengangguk membenarkan ucapan Gempa. Salahnya sendiri tidak mengisi perut pagi-pagi, sekarang situasinya jadi lebih rumit dan ia bahkan sudah menahan rasa lapar sejak berlari tadi.

"Terus kita mau gimana? Kamu gak lihat gimana mereka memakan sesamanya sendiri?" Halilintar berdiri terpancing emosi.

"Kita harus keluar dari sini, tentu sajー"

Halilintar bingung, kenapa wajah Gempa tiba-tiba pucat pasi? Matanya bergetar melihat ke arah bawah di belakang Halilintar. "Gem?"

Halilintar mengikuti arah pandang Gempa, ia menoleh ke belakang bagian bawah dan kaget ketika sebuah tangan tiba-tiba mencengkramnya dengan kuat. Tanpa sadar Halilintar berteriak kaget dan menggoyangkan kakinya supaya tangan itu lepas.

Sebuah kepala menyembul dari balik pagar. "Woi! Woi! Ini aku, Blaze! Jangan goyangin kakimu sebrutal itu, nanti aku jatuh!"

Blaze dengan sekuat tenaganya memanjat tembok dan kemudian berpegangan pada pagar. "Ayolah, kalian gak mau bantuin aku kah?" Ringisnya.

Ketiganya langsung tersadar dan segera membantu Blaze untuk naik ke atap sekolah itu. Begitu mendarat, Blaze langsung terduduk lemas dan terengah-engah. "Thanks."

Taufan mengangguk. Ia berjongkok kemudian menawarkan sapu tangannya untuk menyeka peluh yang ada di wajah sang adik kelas.

"Blaze, kamu..... manjat?" Halilintar melihat ke bawah, kekacauan dimana-mana.

Blaze yang sibuk menyeka peluhnya pun mengangguk. "Iyalah! Aku baru aja mau balik ke kelas pas tiba-tiba di depan pintu toilet ada siswa cewek yang nyerang temennya sendiri. Pas mau kudeketin, orang-orang pada lari kesana kemari, bikin aku jadi kebawa arus. Tapi! Kalian tahu yang terjadi? Siswa cewek itu mengoyak daging temannya sendiri! Gak cuma satu, tapi banyak yang kayak begitu. Ya, dalam keadaan terdesak aku lewat jendela, alternatif lain karena pintu keluar dan tangga penuh sama siswa lain."

Gempa mengangguk paham. "Apa saat kau memanjat, kau melihat sesuatu lagi Blaze?"

Blaze berpikir sejenak. "Hmm, kurasa tidak ada."

"Yah, kurasa hanya sedikit informasi yang kita dapatkan." Gempa menghela nafas.

"Tunggu. Apa kauーtergigit salah satu dari mereka?" Halilintar menatap tajam, menelisik seluruh tubuh Blaze yang menggeleng.

"Tidak, semuanya aman. Aku berani bersumpah demi ayam-ayamku di rumah."

Baiklah, Halilintar berusaha memercayai apa yang di katakan oleh sang adik kelas.

AdamantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang