Bersama ketiga istri terdahulu, Hanggara belum dikaruniai anak kandung satu pun. Tentu bukan maksud Gelia menjelaskan hal itu. Ia hanya emosi, tapi akibatnya fatal. Ia sedang mencabik harga diri Hanggara sebagai laki-laki tanpa dirinya sadari.
Raut wajah Hanggara menegang, matanya memerah, rahangnya mengeras. Jika yang mengucapkan bukan Gelia, mungkin ia santai menanggapi, tapi karena kalimat itu keluar dari mulut wanita yang berstatus istrinya, Hanggara menahan amarahnya.
"Maaf, bukan maksudku untuk ...."
Gelia tak meneruskan kalimatnya, karena melihat tatapan kecewa pada mata suaminya. Raut wajah yang biasanya tenang itu kini beriak.
Hanggara keluar dari rumah dengan wajah masam. Baru saja ia hendak memerintahkan sopir untuk mengantarnya ke suatu tempat, ponselnya berdering.
"Hallo, Bang, aku telpon Mbak Lia tapi nggak diangkat-angkat. Ini barusan dokter kasih kabar kalau Bapak sudah boleh pulang." Suara Qaila di seberang telepon memberitahu kondisi terkini Pak Waluyo.
Hanggara menahan langkahnya. Ia melambaikan tangan ke arah Pak Dirman.
"Oh jadi udah boleh pulang? Bagus kalau memang kondisi Bapak sudah membaik dan diperbolehkan pulang. Baiklah, Abang kesana sekarang."
Hanggara segera menuju rumah sakit tanpa berpamitan kepada Gelia. Dari balik tirai, Gelia melihat kepergian suaminya setelah menerima telepon.
"Pasti dia pulang, pasti istrinya yang barusan telepon." Ia menggumam lalu menutup gorden.
Berbagi suami.
Tak pernah sekalipun ia membayangkan hal itu. Sejak dulu ia selalu merasa bersyukur punya kehidupan lengkap dan bahagia bersama Pramana dalam keluarga kecil mereka.
Kehidupan sederhana karena Pramana hanya seorang staf Kecamatan, dengan gaji yang tak bisa bertahan hingga akhir bulan.
Akan tetapi, Pramana membuktikan bisa menghidupi keluarganya dengan layak. Ia membuka kedai mie ayam, karena resep yang tak sengaja ia temukan dari hasil eksperimen di dapur.
Semakin lama kedai mie ayam itu semakin berkembang, bukan hanya satu tapi berhasil membuka enam cabang. Perlahan-lahan kehidupan mereka mulai membaik, tidak berlebihan tapi juga tak kekurangan.
Hari-hari bahagia mereka lalui seperti keluarga lain, Gelia sudah merasa cukup atas apa yang ia dapatkan. Suami yang baik dan bertanggungjawab, anak yang lucu dan cerdas, serta keadaan ekonomi yang terus membaik, apalagi yang ia keluhkan?
Semuanya berubah semenjak kepergian Pramana, bahkan kini Gelia masih belum bisa menerima jika dirinya menjadi seorang istri dari adik iparnya sendiri.
"Aku nggak bermaksud menyinggung kamu, tapi kamu harus menghargai pola didik yang kami terapkan sejak dulu untuk Haydar, hanya itu."
Gelia menggumam lirih, merasakan penyesalan atas apa yang baru saja terjadi. Ia salah bicara, dan sudah seharusnya minta maaf.
"Ya kalau dia masih mau balik kesini, dia pasti sakit hati dan memilih kembali ke rumah istri-istrinya."
Sementara itu Hanggara gelisah di dalam mobil menuju ke rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIMADU KARENA WASIAT
RomanceGelia, seorang berprinsip monogami seumur hidupnya, ditinggal mati suami tercintanya. Namun, tiba-tiba bapaknya menerima lamaran dari sang adik ipar suaminya yang ternyata sudah menerima wasiat almarhum kakaknya, Pramana untuk menikahi Gelia. Bagaim...