[10]

115 4 1
                                    

Semburat merah di pipi itu tak bisa disembunyikan lagi. Setelah menarik napas panjang beberapa kali, Gelia berhasil menyelamatkan diri dari situasi canggung akibat kegombalan tingkah Hanggara. Dia mengurung diri di kamar, mencoba mengerjakan dokumen dan laporan mingguan yang kini sudah mulai menumpuk. 


"Ngapain juga mikirin dia. Buang-buang waktu saja," gerutunya sambil memandang ke layar laptop. 


Namun saat memandang ke layar laptop, ia malah teringat apa yang diajarkan Hanggara.


"Dia kalau lagi mode serius ngajarin gitu semakin berwibawa. Gayanya udah kayak dosen aja. "


Tanpa diundang, kini ia kembali lagi membayangkan ekspresi Hanggara saat mengajari tentang laporan dan pekerjaan. 


"Ada apa dengan pikiranku? Makin mencoba menghilangkan, malah makin teringat semua yang ia lakukan."


Gelia mulai berpikir apakah pikirannya salah dan sesudah seharusnya membuka batas pagar dirinya?


Toh Hanggara pun tak buruk sebagai anak dan menantu. Mungkin juga sebagai suami. Hanya satu kekurangannya dia mata Gelia karena dia beristri lebih dari satu. Menurut Gelia, seperti lelaki yang tak setia.


"Laki-laki yang punya banyak wanita, apa sih yang dicari? Apa pula yang bisa dibanggakan? Merasa super gitu?"


Kekesalan hatinya belum juga sirna. Di matanya, Hanggara sudah melakukan sesuatu yang meskipun bukan kesalahan, tetap saja terasa kurang elok. 


Bukan, dia tidak sedang mengingkari sesuatu yang secara syariat jelas diperbolehkan. Ia tak mempertentangkan hal itu. Hanya saja ini soal pilihan. Jika bisa setia dengan satu wanita kenapa harus tiga?


"Trus aku, kenapa mau juga jadi yang keempat?"


Gelia menepuk dahinya. Semua terjadi di luar kendalinya. Saat tersadar, tiba-tiba ia sudah masuk dalam lingkaran poligami yang sama sekali tak pernah ia bayangkan sebelumnya. 


Kemudian Gelia teringat mimpi yang masih samar-samar dan terlupakan semalam. 


"Mas Pram, makasih semalam sudah datang mengobati kerinduanku."


Sesungging senyum menghiasi wajahnya yang terlihat lebih manis. 


"Tapi kenapa juga Mas Pram harus berubah jadi dia?" Senyuman itu hilang berganti lengkungan cemberut yang membuatnya bersungut-sungut. 


"Enggak di dunia nyata, enggak di dalam mimpi, dia memang menyebalkan!" 

DIMADU KARENA WASIATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang