notes; ngga tahan, aku update aja deh haha! thanks yang udah mau ikut komen dipart sebelumnya, sayang deh😘
selamat membaca! siap-siap gigit jari liat zello dan floryn yang kebetulan lagi manis.
✰✰✰
Samar-samar Floryn mendengar keributan saat kesadaran menyapanya. Floryn tidak bisa memastikan dirinya berada dimana dan bersama siapa, yang jelas suara ribut itu sepertinya berasal dari perdebatan yang melibatkan banyak manusia di ruangan yang sama. Dari penciumannya ia bisa menyimpulkan bahwa ia berada di ruang rawat.
"Lo bisa jaga Floryn nggak si, Ze?" itu jelas suara Chiara, kedengarannya seperti sesenggukan.
Salvio melawan. "Nggak usah ngelempar kesalahan ke orang lain, salahin tu diri lo sendiri yang nggak nemenin. Lo sahabatnya, kan? Kita lagi manggung lagian."
"Udah, stop. Terus sekarang keadaan Daniella gimana?" Belinda menyinggung satu nama yang sensitif.
"Mati." satu kata itu keluar dari bibir Elio.
Chiara sudah mendengar pernyataan itu lebih dulu sebelum Belinda, tetapi tetap saja rasanya menyakitkan ketika didengar untuk kedua kalinya, mengetahui orang terdekat kita pergi selama-lamanya. Meskipun Chiara sempat kesal dengan Daniella, demi apapun Chiara tetap menganggap Daniella adalah temannya.
"Kejadiannya gimana?"
"Nanya mulu lo, nggak mikir kalau Zello lagi panik karena Floryn yang belum sadar, belum lagi kalau sampai kita ngomongin hal ini dan Floryn denger, apa nggak trauma tu anak ngingetnya?" Roberto bersuara.
Sayangnya Floryn sudah sadar, ia mendengar. Dan benar, Floryn kembali mengingat kejadian itu. Isi kepalanya merekam setiap detailnya; Daniella yang marah, air mata kesakitan Daniella, pisau yang digenggamnya, semua itu terbayang.
"Daniella udah mati?" suaranya bergetar saat menyampaikannya, dadanya seperti tertusuk sesuatu yang tajam, sakit sekali.
"Blo," sesaat setelah hening menyapa karena keterkejutan mereka yang di ruangan, Zello menjadi orang pertama yang mendekat dan menggenggam tangan Floryn lembut.
"Daniella mati, Ze? Karena gue? Gue pelakunya, Ze?" air matanya keluar tanpa diminta, begitu deras dan perih.
Zello menggeleng lemah, meraih tubuh rapuh itu untuk didekap. "Nggak, bukan salah lo. Bukan lo pelakunya. Tenang, oke?"
Tangis Floryn makin pecah. "Terus siapa? Lo yang bunuh, huh? Lo datang ke atap dan nyelakain Daniella, iya?!"
Zello tak menemukan jawabannya. "Tenang, oke? Lo baru aja sadar."
"Gimana gue bisa tenang, sialan?!" murka Floryn, lalu meronta, melepaskan diri dari rangkuman tangan Zello.
"Ryn, bukan lo pelakunya, bukan Zello juga. Dari CCTV yang gue liat, Daniella nusuk pisau itu ke dirinya sendiri begitu Zello dan yang lain datang ke atap, Zello sempat dorong Daniella karena mikir mau nusuk lo, makanya ada noda darah di kaos Zello." Chiara memberi penjelasan.
Floryn memukul-mukul dadanya sendiri kuat, meraung tangis. "Harusnya gue yang mati, Dan. Kenapa lo?"
"Lo nggak boleh ngomong gitu, Ryn." kata Belinda, khawatir.
"Ryn, menurut keluarganya, Daniella memang punya penyakit mental dari awal remaja dan jatuh cinta sama Tommy itu benar-benar nggak direncanakan. Awalnya mungkin iya, dia mau bunuh lo, tapi diakhir dia sadar kalau yang bermasalah dirinya sendiri, kemungkinannya dia udah nyerah ngadepin diri sendiri dan milih buat pergi selamanya. Di pisau itu juga ditemuin racun, Ryn. Yang cuma Daniella tahu, jadi kayaknya Daniella memang udah rencanain ini." Roberto sebagai teman Zello, mencoba membantu dengan memberi penjelasan pula.
KAMU SEDANG MEMBACA
TACHYCARDIA
Romance"Lo nggak mau naik level dari babu jadi pacar gue gitu?" "Ogah." Kala benci menjadi sesuatu yang dinanti, amarah yang bertukar dengan rasa nyaman, keinginan untuk bersama lebih banyak dibanding yang dipikirkan. Raga yang terikat dengan cinta tidak b...