Mereka telah sampai di depan rumah Dion. Jangan khawatir mengenai Seno, jelas Dion memberinya tumpangan di sadel belakangnya. Kebetulan kakak kelasnya ini tidak mengeluh sama sekali mengenai sadelnya yang sedikit keras. Seno justru menjadi sangat bersemangat dan tidak berhenti berceloteh di sepanjang jalan. Ia mengatakan jika ini adalah pengalaman pertamanya dibonceng menggunakan sepeda.
"Ini rumahmu?" Seno menatap ujung atas atap rumahnya hingga teras rumahnya yang hanya berjarak beberapa centimeter dari jalan setapak yang mereka masuki. Cat hijau yang telah mengelupas menjadi khas dari rumahnya. Bangunan ini dibangun diatas tanah warisan milik neneknya.
Dion sedang memarkirkan sepedanya di teras rumah. Ia tertawa melihat mulut Seno yang membola. "Kecil ya?"
"Ini sempurna! Jauh dari keramaian dan..." Seno berjalan ke sisi samping rumahnya. Matanya menelisik ke arah samping dan belakang rumahnya, "....ada pekarangan kecil juga. Pasti sangat menenangkan tinggal disini." Sambung Seno sambil menatapnya dengan sangat antusias.
Dion tersenyum lega Seno menyukainya. Belum ada yang memuji rumah secara langsung seperti yang dilakukan Seno barusan. Tanpa sadar tangannya bergerak untuk mengusap rambut Seno yang mulai kusut terkena angin saat bersepeda dengannya tadi. Bahkan walupun kusut sekalipun setiap helai rambut kakak kelasnya masih sangat lembut dan wangi. Berbeda dengan rambutnya yang sudah kusut, kering pula.
Mungkin karena terlalu nyaman menikmati helaian rambut Seno, Dion menjadi lupa diri. Astaga, apa yang barusan Ia lakukan. Meletakkan tangan ke kepala yang lebih tua adalah sesuatu yang tidak sopan. "O-oh maafkan aku."
Dion mengira Seno akan marah, tetapi Ia tidak bereaksi apapun. Ia justru menatap ke arah lain dan hanya diam saja. "Tidak apa apa," Jawabnya singkat.
Ingatkan Dion untuk mengutuk tangannya sendiri nanti. "Kalau begitu masuklah, akan banyak nyamuk saat malam hari di luar sini."
Mereka berdua masuk ke rumah Dion. "Aku pulang!"
Tepat saat dirinya menutup pintu, Adiknya tiba-tiba muncul dari arah ruang tengah. "Oh! Kak Dion, temanmu?"
Dion melirik Seno sejenak dan menjawab adiknya dengan anggukan. "Dimana Ibu?"
"Kevin! Apakah Kak Dion sudah sampai?" Suara yang sangat Ia kenali itu menggetarkan hampir di seluruh penjuru rumah. Dion meringis menahan rasa malunya. Ia melirik Seno yang kini masih fokus melihat-lihat setiap sudut rumahnya.
Tak lama setelah itu, wanita yang merupakan ibunya muncul. "Bagus, kalian datang tepat waktu! Makanan telah siap, Ayah juga telah menunggu disana, letakkan tas kalian di kursi dan ayo makan terlebih dahulu," Ujar Ibunya yang kini menghampiri mereka dan membantu melepaskan tas yang masih menggantung di punggung mereka.
"Iya Bu, bersabarlah," Ucap Dion kepada sang Ibu yang pasti tidak didengarkannya. Mereka segera di dorong menuju ruang tengah.
Benar saja, Dion bisa melihat Ayahnya yang telah duduk di kursi meja makan dengan senyum di wajahnya. Mereka duduk di kursi yang telah tersedia. Nampaknya Ibu telah menyiapkan satu kursi tambahan untuk Seno malam ini.
Dion mencuri pandang ke arah Seno yang berbinar menatap satu per satu hidangan disana. Ia terlihat seperti anak anjing yang kelaparan. Huh? Kemana perginya sifat kecanggungan alaminya saat ini? Bahkan ketika Ia melahap suapan pertama, tidak ada keraguan di matanya. Ia duduk tepat di samping Seno sehingga Ia bisa melihatnya dengan jelas. Sekali lagi, Dion menjadi lega.
"Bagaimana masakan Ibuku Kak Seno?" Di tengah acara makannya, Dion mencoba untuk membuka topik di meja makan keluarganya.
"Tentu saja enak! Yang buat siapa dulu, Benar begitu kan Seno?" Ibunya melayangkan tatapan dengan kedua alis terangkat ke arah Seno.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter Than Fiction ✓ • ft. doshin
Ficção AdolescenteKisah Dion yang ingin menjaga bintangnya tetap bersinar terang di tengah gelap gulita malam dan Seno yang perlahan menemukan kepingan batu pijakan untuknya berjalan di atas arus sungai yang deras. Based on a song called "Sweeter Than Fiction" by Ta...