13. Tentang kepercayaan

177 16 0
                                    

Suasana meja makan pagi ini sangat berbeda dari biasanya. Biasanya terdengar begitu banyak celotehan dan dentingan. Namun sekarang, hanya dentingan piring yang tersisa. Bahkan suara detik jam dinding terasa begitu nyaring.

"Sekolah baik-baik saja kan Dion?" Suara bariton milik ayahnya terdengar jelas di telinganya.

Dengan pikiran kosongnya, Dion langsung mengangguk tanpa berpikir panjang. Ia yakin jawaban itu tidak memuaskan pertanyaan dari Ayahnya. Hal itu terlihat dari Ayah yang justru melirik ke arah Ibu di sampingnya. Meskipun matanya hanya menatap kosong makanan di piringnya, Dion masih sepenuhnya sadar.

Ia tidak berniat bersikap seperti saat ini. Namun, Ia sedang tidak ingin melawan. Tenaganya cukup terkuras karena kejadian bersama kakak kelasnya tadi malam. Bahkan dengan tidur saja belum cukup untuk mengembalikan tenaga nya. Lagipula siapa yang bisa tertidur nyenyak jika Ia memiliki pertikaian dengan orang lain? Lebih parahnya dengan orang yang disukai.

"Karena Aku menyukaimu!" Oh! Astaga, suara setengah berteriak Seno kembali terngiang di kepalanya. Dion tidak bohong jika Ia bahagia. Sayangnya, rasa bahagia itu tidak sebanding dengan rasa bersalahnya saat ini.

Seno langsung meninggalkannya begitu saja setelahnya. Dion pun tidak dapat bergerak untuk sekedar menahan tubuh yang menjauh itu. Ia merasa tidak memiliki hak apapun untuk mengejar kakak kelasnya.

Salah dirinya yang terlalu mengedepankan ego dan idealismenya. Ia tidak mengerti, mengapa Seno memberikan barang mahal seperti itu. Orang itu juga membual soal mengasihaninya karena bekerja, ingin membuatnya bahagia dan lain hal. Sungguh, Dion tidak membutuhkan semua itu. Ia paling tidak suka jika ada yang mengasihaninya.

Namun, logika dan idealismenya itu seolah bertentangan dengan keadaan tubuhnya saat ini. Alih-alih bersikap biasa saja, pagi ini seluruh tubuhnya terasa lemas. Perutnya terasa jauh lebih kosong dan terasa sakit melebihi saat asam lambungnya naik. Ia tidak menyukai keadaan seperti ini. Keadaan ini membuat performanya dalam segala hal menurun.

Lihat saja reaksi Gerald yang sangat jengkel melihat dirinya yang hanya bengong selama pelajaran bola basket di lapangan. Ia menjadi seperti orang linglung saat ini. Sangat menyebalkan.

"goblok sih." Celetuk Gerald yang sedang menunggunya mengganti baju di ruang ganti.

Setelah jam pelajaran olahraga, mereka diharuskan untuk mengganti seragam olahraga mereka sebelum mengikuti pelajaran dalam kelas. Dion memutuskan untuk bercerita mengenai Seno saat berada di ruang ganti laki-laki.

Ia langsung menatap sengit Gerald dari cermin besar di depannya. "Aku ngga minta dia buat beliin itu Ger!"

"Setidaknya ngomong baik-baik ke dia! Ngomong terimakasih gitu." Riki yang sedang mengganti bajunya juga ikut menimpalinya.

Dion mengangguk pelan mengiyakan setiap kalimat itu. Tidak sulit untuknya mengatakan kata terimakasih. Namun, yang keluar dari mulutnya hanya kalimat menyakitkan kepada Seno yang bahkan tidak sebanding dengan rasa kecewanya karena Seno mengasihaninya. Tidak ada yang salah dari rasa kasihan. "Iya sih, goblok emang."

"Bagus sadar diri! udah goblok, gengsian, ngga pekaan lagi."

Dion mengacak-acak rambutnya karena frustrasi. "Kasih solusi dong aku harus gimana."

Saat Ia merasa pusing karena rasa frustasinya, sebuah sentilan kepala Ia terima dari belakang. "Minta maaf lah! Kamu bilang Kak Seno udah ngungkapin perasaannya kan? Kalau reaksinya semarah itu pas kamu bentak dia, artinya dia udah cinta mati sama kamu."

Sweeter Than Fiction ✓ • ft. doshin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang