7. Sisi yang Rapuh

201 27 1
                                    

Denting alat makan dengan piring memenuhi kesunyian ruang makan. Seno tidak berniat untuk memulai percakapan, begitu juga Ibunya yang hanya diam.

Seno telah terbiasa dengan kesunyian ini sejak Ia masih kecil. Ibunya hanya akan mengatakan hal-hal yang menurutnya penting, seperti urusan di proyek yang tengah Ia kerjakan sehingga Ia tidak pulang dalam waktu seminggu, atau memarahinya karena nilai ujiannya yang menurun. Membosankan.

Seno berpikir keadaan saling diam ini tidak akan lebih buruk. Namun, keadaan justru berbalik setelah Ibunya menyeletuk satu kalimat. "Jangan berpikiran untuk mengikuti perlombaan lagi."

Detik itu juga napas Seno tercekat. Makanan yang barusan Ia telan seperti terhenti di kerongkongan. Seleranya untuk menyantap makan malam langsung menghilang entah kemana.

"Juna sudah memberitahu Ibu ya?" Jika bukan orang itu, lalu siapa lagi? Apakah Juna mengatakan tentang Dion? Tidak, jangan sampai Ibunya tahu tentang Dion.

Seno melirik ke arah seberang meja dengan tatapan was-wasnya, menantikan kira-kira kalimat apa yang akan keluar kali ini. Walau bagaimanapun, Ia harus siap mendengarkannya.

"Ajukan pengunduran diri dalam satu minggu kedepan atau aku sendiri yang akan melakukannya," Ujar Ibunya dari seberang sana. Seno menghela napas leganya, setidaknya itu bukan tentang Dion.

"Tidak, aku tidak akan melakukan itu." Seno mengatakannya dengan nada santai.

"Kamu pikir bisa memilih? Ini adalah perintah bukan pilihan." Nada dingin yang tegas milik Ibunya itu terasa menusuk ke ulu hati Seno. Namun Ia telah meneguhkan tekadnya. Ini bukan lagi tentang dirinya, tetapi juga untuk satu orang di luar sana yang selalu menunggunya.

Seno berdiri dari duduknya dengan pandangan menuju piring yang telah kosong. "Maka Ibu tidak berhak memerintahku untuk satu hal ini."

Ia memberanikan diri untuk mengangkat pandangannya. Menghadap langsung ke tatapan penuh dominasi milik Ibunya. Sebut saja Seno adalah anak pembangkang. Namun, masa sekolahnya akan segera berakhir dan Ia tidak akan menyia-nyiakannya.

"Tempa aku lagi dengan tongkat kayu itu semaumu, tapi aku tidak akan pernah berubah pikiran." Kemudian Ia berbalik lalu meninggalkan Ibunya sendiri di meja makan. Meninggalkan tatapan tajam yang mengarah kepadanya.

"Lihat saja, sejauh mana kamu akan bertahan Seno." Kalimat Ibunya barusan sukses membuat Seno memberhentikan langkahnya. Ia meremat kedua tangannya sendiri untuk menahan gemetar.

Ini adalah keputusannya, Seno harus menghadapi seluruh hal gila yang akan dilakukan Ibunya di masa depan. Benar, Seno harus siap menerimanya.

Semua ini tidak akan terjadi seandainya Ayah masih ada bersama mereka. Setelah perceraian itu, Ibunya menjadi sosok yang berbeda. Seno tidak pernah merasakan kebebasan layaknya ketika sosok Ayah masih ada di kehidupan mereka. Semua barang berkaitan dengan Ayahnya dibuang, termasuk gitar yang dihadiakan kepada Seno saat sekolah menengah.

Ayahnya begitu menyukai musik, persis seperti Seno. Memori usang di otaknya selalu terputar sendiri kala Ia memangku gitar di dekapannya. Memori ketika tangan kecilnya berusaha keras menekan senar di setiap fret agar membunyikan akor yang tepat. Memori ketika Ayahnya bernyanyi bersama dengan iringan gitar. Seno tersenyum bahagia hingga melompat-lompat mengikuti iramanya.

Seno kecil yang terlalu naif berpikiran bahwa kebahagiaan itu bertahan lama sampai Ia mendengar berita perselingkuhan Ayahnya. Seketika semua ketulusan senyum dan suara Ayahnya di masa lalu terasa hambar. Seno yang saat itu sedang berada di puncak kesukaannya kepada musik terpaksa berhenti karena perilaku Ibunya yang semakin hari berganti semakin menekannya.

Sweeter Than Fiction ✓ • ft. doshin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang