Malam itu, setelah dirinya dan Dion terlibat perseteruan, Ibunya ternyata telah menunggu di balik pintu rumah. Seno yang isi pikirannya telah kacau karena kalimat Dion dibuat semakin kacau oleh Ibunya.
"Ibu sudah meminta sekolah untuk mencabut namamu dari list pendaftaran lomba." Kalimat itu terlontar begitu saja dari mulut sang Ibu kala Seno sedang membuka sepatunya. Dalam sekejap kepala Seno terasa berdenyut nyeri dan pandangannya juga mulai berkunang-kunang.
Seno memutar kepalanya dengan cepat langsung mengarah ke Ibunya. Barangkali itu hanyalah lelucon belaka yang hampir membuatnya serangan jantung. "Apa. . . Ibu pasti bercanda."
Namun, sayangnya Seno baru ingat, Ibunya bukan seorang komedian yang mengatakan omong kosong. Ekspresi tegas itu seakan menertawakan dirinya yang tengah menyangkal. "Lupakan soal lomba itu."
Seno sudah paham. Cepat atau lambat Ibunya tetap selalu sigap. Salahnya karena tetap mempertahankan pendapat yang sepenuhnya ditentang hanya demi bocah yang sedang mengalami masa pubertasnya.
Seno ingin melawan, tetapi mengingat kejadian beberapa waktu lalu membuatnya kembali terlempar oleh kenyataan. Mungkin saja saat ini Dion sudah membencinya. Bahkan menganggapnya sebagai manusia menjijikkan karena menyukai yang tidak seharusnya disukainya. Apa gunanya mempertahankan ini semua jika Dion saja tidak berada di pihaknya saat ini?
"Kamu pikir Ibu akan percaya jika kamu mengambil les tambahan dan pulang larut malam seenaknya? Dasar pembohong! Aku membesarkanmu bukan untuk menjadi anak berandalan seperti di luar sana Seno! Kamu sudah melewati batas."
Seno tertawa hambar menertawakan kehidupan malangnya. "Lalu Ibu akan tetap mengurungku di kamar dan menyuruhku untuk belajar terus-menerus hingga kepalaku ingin meledak?"
"Seandainya Ibu memberiku satu kesempatan lagi, aku bisa membuktikan prestasi yang benar-benar aku inginkan." Sambungnya dengan volume suara yang semakin mengecil di setiap kata yang diucapkannya.
Barangkali harapannya juga ikut memudar layaknya suara itu. Ia sadar, harapan itu bukan berasal di dalam dirinya lagi. Seno melakukan semua ini hanya untuk Dion. Lalu kenapa Ia harus mempertahankannya lagi jika Dion tidak berada di sini?
Jarum jam terasa begitu lama dalam bergerak pada malam itu. Seno bersyukur karena demam berhasil membawa kesadarannya untuk istirahat dalam waktu yang cukup lama. Hingga ketika Ia terbangun dan Dion telah berada di ujung pintu kamarnya. Bocah itu seperti berlagak layaknya malaikat penyembuh. Seno tidak ingin hiperbola, tetapi Dion memang seakan menyembuhkannya.
"Maaf karena telah mengecewakanmu," Ucapnya sangat lirih seperti tidak memiliki keberanian lagi. Seno menatap Dion dari ujung matanya saja. Selebihnya, Seno hanya menundukkan kepalanya.
Di luar prediksinya, Dion justru tertawa kecil sembari menutup wajahnya dengan kedua tangan. Seno tidak tahu kenapa Dion melakukan itu, tetapi telinga Dion seketika berubah menjadi merah. "Jadi aku terlihat seperti terlalu bersemangat menantikan penampilanmu ya kak?"
Seno mengangguk polos karena Ia memang merasa seperti itu. Dion seringkali membicarakannya ketika mereka berdua. Sejujurnya Seno menjadi merasa terbebani. Namun, jika itu untuk Dion maka Ia tidak akan keberatan.
"Astaga... Ini memalukan," Ucap Dion semakin menutup wajahnya.
Seno yang penasaran itu langsung bangkit dari tidurnya dan berusaha menarik kedua tangan Dion. Ia butuh banyak tenaga karena Dion menutup wajahnya dengan sangat rapat. "Ayolah. . . Kenapa kamu ini? Jangan membuatku takut."
"Sejujurnya aku sangat menantikan saat ketika kamu tampil di depan panggung lagi kak." Dion menangkup kedua tangannya lalu menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.
Seno lebih tahu tentang pandangan itu. Bahkan jika Dion membangun tembok di antara mereka. Tidak ada kata lain yang bisa Ia katakan selain permintaan maaf. Layaknya seorang Idola yang meminta maaf kepada penggemarnya karena telah membatalkan penampilannya secara mendadak.
"Aku menyukaimu bukan hanya karena penampilanmu," Ujar Dion yang dengan tanpa aba-aba berhasil membuat hati Seno bergejolak. Seno terus terpaku dengan tatapan Dion saat ini. Ia seakan enggan untuk melewatkannya begitu saja.
"Aku menyukaimu segala hal tentangmu," Sambungnya. Seno masih terdiam tanpa memiliki keinginan untuk membuka mulut atau mengalihkan pandangannya.
"Jangan menganggapku seperti penggemar biasa." Seno berani bersumpah, tatapan Dion belum pernah terasa selembut ini sebelumnya. Ia sampai tidak mampu untuk hanya mempertahankan wajah datarnya. Seno langsung tersenyum tanpa ada keraguan.
Seno tertawa untuk sekedar memecahkan suasana. "Baiklah penggemar spesialku Raden Dion. Kamu ingin aku melakukan apa den?"
Lalu Dion tersenyum tipis hampir tidak terlihat oleh pengelihatannya. Bocah itu menunduk sebentar sebelum kembali menatapnya. "Tetaplah ikut lomba itu kak."
Senyum di wajahnya perlahan memudar seiring dengan suasana hatinya yang menjadi kelabu. Seno selalu benci terhadap dirinya yang penuh dengan keraguan. Berulangkali Ia mencoba untuk tetap berada di jalannya sendiri. Namun, Ibunya selalu berada satu langkah di depannya. Semuanya memang sudah mustahil sejak awal.
"Entahlah. . ."
"Ayolah kak Seno. Buktikan kepada Ibumu kalau kamu mampu! Untuk yang terakhir kalinya. Setelah itu, aku tidak akan mengganggumu lagi, aku janji!" Dion menjabat tangannya yang terasa masih sedikit hangat itu.
Seno menatap bocah yang penuh harap itu. Ia tidak tahu apa yang membuat Dion begitu berani untuk mengatakan itu. Berani-beraninya dia memerintah kakak kelasnya sendiri yang dua tahun lebih tua darinya. Namun, Seno tidak bisa memungkiri jika kini Ia juga ikut kembali tergugah.
Seperti itulah Dion, Ia selalu bisa memutarbalikkan keadaan hatinya.
"Tunggu kak," Ujarnya tiba-tiba. Dion melepas jabatan tangannya dengan cepat, lalu merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel. Jarinya bergerak untuk menggeser layar benda persegi panjang itu. "Lihatlah!"
Seno mengernyitkan dahinya kala cahaya terang dari layar ponsel itu menyapa pandangannya. Dion menunjukkan video dirinya yang sedang tampil saat masa pengenalan sekolah satu bulan yang lalu. "Videoku? Memangnya kenapa?"
"Kamu tidak melihatnya? Banyak yang menyukai videomu. Tayangannya juga telah mencapai lima ratus ribu! Klip ini banyak dibicarakan di sekolah tadi." Dion menaruh jarinya ke bagian elemen berbentuk love untuk menunjukkan banyak angka di bawahnya.
Ia tidak tahu apa yang dirasakannya saat ini. Yang ditunjukkan Dion adalah impiannya sejak lama. Namun, di sisi lain Ia harus menuruti perintah Ibunya. Seandainya Ia bisa kembali ke masa lalu, Ia akan menjadi lebih berani untuk melakukan hal ini sejak lama. Kini semuanya telah terlambat menurutnya. Benar kata Ibunya, seharusnya Ia mempersiapkan nilainya di semester akhir ini.
Di tengah kekalutannya, Dion kembali menggenggam kedua tangannya. Jangan lupa soal tatapan yang masih sama sejak beberapa waktu yang lalu. "Banyak penggemarmu di luar sana. Aku bisa pastikan itu kak! Apa kamu yakin akan meninggalkannya begitu saja setelah berjalan sejauh ini?"
Sekali lagi Dion berhasil mengubah keputusannya. Seno terus bertanya-tanya, sebenarnya mengapa bocah itu selalu menginginkan Seno untuk tetap menantang dirinya sendiri dan keluar dari kenyamanannya. Bukannya Ia tidak suka, tetapi semua hal perlu ada alasannya bukan? Apapun itu, Seno bersyukur Dion datang pada hari itu hingga saat ini.
Gejolak perasaannya yang tidak bisa Ia bendung lagi membuat tubuhnya bergerak dengan sendirinya. Ia mendekap tubuh Dion begitu erat seakan tidak ada hari esok. Persetan dengan rasa sukanya, perasaan ini jauh lebih berharga daripada itu. Dion adalah sosok yang Ia sukai, teman, sekaligus penolongnya.
"Terimakasih bocah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter Than Fiction ✓ • ft. doshin
Roman pour AdolescentsKisah Dion yang ingin menjaga bintangnya tetap bersinar terang di tengah gelap gulita malam dan Seno yang perlahan menemukan kepingan batu pijakan untuknya berjalan di atas arus sungai yang deras. Based on a song called "Sweeter Than Fiction" by Ta...