Seno's Point of View
Seorang remaja berdiri di depan wastafel toilet. Ia menatap pantulan tubuhnya sendiri dari cermin di depannya. Matanya turun dengan penuh keraguan untuk melihat belasan bercak luka di kedua lengan. Dengan cepat, Ia langsung mengalihkan pandangannya ke sembarang arah sembari meringis menahan perihnya. "Aku tidak bisa menunjukkan ini semua kepadanya."
Kemudian Ia tiba-tiba tersadar akan sesuatu. Tangannya bergerak cepat untuk menggeledah tas. Ia menemukan barang itu, lalu menempelkannya di seragam bagian saku dadanya. Seketika kedua sudut bibirnya terangkat ketika Ia merasa deja vu dengan situasi ini. Bedanya dulu benda itu ditempel di lengan bajunya.
"Seno!" Suara itu menggema ke seluruh sisi ruangan. Seno sangat tahu dengan pemilik suara berat itu. Ia segera mengambil stiker bintang yang terpasang di seragamnya lalu memasukkannya ke saku.
Seno memberanikan diri untuk melihat pantulan orang itu dari cermin, berharap agar pendengarannya salah. Namun, ternyata pendengarannya tidak salah. Kemudian Ia menghembuskan napas beratnya. Keinginannya sore ini hanyalah latihan dengan tenang, tanpa ada gangguan dari siapapun sekarang telah pupus. "Juna."
Orang yang disebutnya Juna itu berjalan dengan langkah lebar mendekatinya. Ia menarik satu lengan Seno agar tubuhnya dapat berbalik menghadapnya. "Kau mengikuti lomba menyanyi solo lagi bukan? Jangan berbohong padaku!"
Seno mencoba untuk menarik kembali tangannya yang dipegang, tetapi Juna enggan melepaskan tautannya. Mood-nya yang tadinya bagus sekarang jatuh ke dasar jurang terdalam. "Kalau iya memang kenapa? Kamu akan melaporkannya kepada Ibu lagi? Silahkan saja, aku tidak peduli."
Juna mencengkeram lebih erat tangannya dan mengangkatnya ke atas. "Lihat Seno! Lihat tanganmu sendiri! Jika kamu bertindak lebih jauh maka kamu akan menerima lebih dari ini!"
Seno menatap sebelah lengannya yang penuh dengan luka. Itu adalah luka yang berasal dari tongkat bambu yang dilayangkan Ibunya kemarin sore. Seno akan menerima pukulan itu setiap Ia ketahuan bermain alat musik. Sepertinya Juna telah melaporkannya setelah Ia tampil di acara pengenalan lingkungan sekolah untuk siswa baru.
"Aku tidak peduli! Aku akan tetap mengikutinya walaupun Aku harus berhadapan dengan kemarahan Ibu lagi." Seno menatap kedua mata Juna dengan tajam. Meskipun begitu, Ia tidak dapat menahan amarahnya juga. Mukanya perlahan memanas dengan dahi yang mengernyit.
Juna adalah kunci kesedihannya selama ini. Ia yang membuatnya merasakan patah hati pertama kali. Juna juga yang membuatnya mematikan seluruh mimpi-mimpinya, sebelum seseorang kembali menghidupkannya. Juna akan selalu menjadi mimpi buruk yang terbaik di hidupnya.
"Aku peduli padamu Seno." Seno berdecih mendengarnya. Kalimat manis itulah yang membuatnya terjebak di kesengsaraan. Kini Ia sadar betapa bodohnya Ia dulu hingga jatuh ke dalam kemunafikan orang itu.
"Satu-satunya hal yang kamu berikan padaku hanyalah rasa sakit. Aku tidak butuh kepedulianmu itu lagi," Ujar Seno sambil menahan diri untuk tidak menangis. Itu hanya membuatnya terlihat lemah. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan mantan kekasihnya.
"Apa yang membuatmu bersih keras seperti ini hah?!" Juna masih meremat satu pergelangan tangannya dengan erat.
Seno tertawa dalam hati. Ia menatap tajam tepat ke arah kedua mata Juna. "Untuk seseorang yang berharga bagiku, seseorang yang kembali menghidupkan harapan milikku, setelah kamu menghancurkannya!"
"Kak Seno!" Adik kelasnya lagi-lagi menangkap basah dirinya yang sedang berada di titik rendahnya. Napasnya kembali normal setelah beberapa kali tercekat semenjak Juna ada di depannya.
Dion, seorang siswa baru yang berbohong kepadanya saat acara pengenalan lingkungan sekolah. Hanya pembolos payah yang menjadikan toilet sebagai alibi. Kemudian Dion justru mengobrol, alih-alih cepat-cepat untuk menuntaskan urusannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter Than Fiction ✓ • ft. doshin
Teen FictionKisah Dion yang ingin menjaga bintangnya tetap bersinar terang di tengah gelap gulita malam dan Seno yang perlahan menemukan kepingan batu pijakan untuknya berjalan di atas arus sungai yang deras. Based on a song called "Sweeter Than Fiction" by Ta...