14. Guilty as Sin?

132 12 3
                                    

Seno menatap jendela yang mengarah langsung ke halaman sampingnya. Perlahan cahaya matahari sore mulai masuk menerobos kaca. Seno mengernyitkan dahinya setelah matanya beradu langsung dengan cahaya matahari. Tiba-tiba kepalanya berdenyut nyeri layaknya dihantam ribuan balok kayu.

"Astaga tidak bisakah tirai itu menutup sendiri saat cahaya mulai masuk?!" Bodoh. Sepertinya demam ini telah sedikit mengubah fungsi otaknya.

Dengan sisa tenaga yang masih tersisa, Seno berusaha untuk menggerakkan tubuh yang sedang ringkih itu. Langkah lunglai itu berhasil membawanya menuju jendela. Seno sedikit mencuri pandang bagaimana keadaan sore itu sebelum menutup tirai.

Suara ketukan pintu terdengar diikuti oleh suara Pak Joko. "Tuan Seno?"

"Iya pak? Buka saja pintunya," Ujarnya sembari merebahkan kembali tubuh lemas itu di kasur tercintanya. Ia tidak punya tenaga yang tersisa lagi, bahkan hanya untuk tersenyum sekalipun.

Pintu kamarnya terbuka dan Pak Joko berdiri di ujung pintu. Seno berusaha keras untuk menoleh ke arah pintu. Ia masih memiliki sopan santun. "Dion ingin mengunjungimu."

Detik itu juga degup jantungnya seperti kembali bekerja. Seluruh wajah pucat itu berubah merah seiringan dengan tubuhnya yang langsung terduduk. Ia menatap Pak Joko dengan penuh keraguan sekaligus harapan di pikirannya. "Apa?! Dion?!"

Pak Joko menggeser posisinya saat ini hingga Dion terlihat. Dalam sepersekian detik pandangan mereka bertemu. Semua itu diperparah dengan Dion yang tersenyum dan melambaikan tangannya. Sontak Seno membolakan matanya lalu berlari menuju pintu untuk menutupnya dengan keras. "Aku berantakan sekali?!"

Seno melihat baju tidur yang dipakainya dari ujung kaki hingga kerah baju. Ia juga meraba rambut serta mukanya yang berantakan. "Tidak! aku tidak bisa membiarkan Dion melihatku seperti ini!"

Seno langsung menuju kamar mandi dalam kamarnya untuk membasuh wajahnya. Ia juga sedikit membasahi rambutnya agar bisa ditata. Setelah dirasa siap untuk menghadapi Dion, Seno keluar dari kamar mandi dan membuka kembali pintu kamarnya. Lihatlah, siapa yang tiba-tiba lupa akan demamnya?

Seno langsung menarik masuk lengan Dion dan menutup pintu kamarnya dengan keras. "Apa kamu sudah gila?! Nanti Ibu tahu bagaimana Dion?!"

"Aku tidak peduli," Ucapnya dengan santai sembari mengedikkan kedua bahunya.

"Tidak peduli katamu?!" Seno memijat pangkal keningnya yang kembali nyeri. Demam yang dideritanya ditambah dengan perilaku Dion merupakan kombinasi maut. Namun, Ia bersyukur Dion datang saat Ibunya sedang tidak berada di rumah.

Dengan gerakan cepat, Dion langsung meraih bahunya untuk memapahnya menuju tempat tidur. "Astaga, lihatlah tubuhmu Kak, lemas seperti jelly."

"Terserah apa katamu," Ujarnya dengan nada Ia buat seketus mungkin. Kedatangan Dion tidak akan membuatnya melembut kepada bocah itu. Dion harus meminta maaf kepadanya dahulu! Seno menatap ke jendela yang sempat Ia tutup tirainya sebagai pengalihan untuk tidak melihat ke arah Dion terus-menerus.

"Aku tidak tahu jika kamu sedang sakit Kak. Jadi aku tidak membawa apapun." Seno melihat Dion sekilas dari ujung matanya. Sepertinya Ia baru saja pulang sekolah. Terlihat dari seragam yang masih dipakainya dan sedikit keringat di dahinya.

Apa Dion berlari saat menuju ke sini? Bagaimana Dion bisa menemukan rumahnya? Namun, Seno tidak akan mengatakan pertanyaan itu semua. Meskipun itu begitu sulit baginya yang rasa penasarannya tinggi.

"Hm. Lagipula itu tidak penting." Seno mengulum ludahnya sendiri karena kerongkongannya entah mengapa lebih cepat merasa kering. Mengapa Dion tidak cepat meminta maaf kepadanya? Ia tidak bisa mempertahankan sifat cuek ini lebih lama lagi.

Sweeter Than Fiction ✓ • ft. doshin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang