0.07 Only Human (2)

7 1 16
                                    

Sebenarnya manusia pandai beradaptasi
dan
membohongi diri
Jadi…
Benarkah kamu adalah kamu?

***

Adeen merapatkan jaketnya, jika beberapa hari lalu suhu panas yang menyebar keseluruhan kota Jakarta, kali ini rasa dingin mulai menyelimuti berbagai sudut kota Jakarta. Meski sudah mengenakan jaket tebal dan membuka tirai jendela, Adeen berdiri di depan kompor sambil menggerutu kedinginan. Dia bukan anak yang suka dengan musim dingin meski tak suka dengan musim panas juga.

“Kamu sakit, Deen?”

bukannya menjawab Adeen malah menatap sinis pada yang lebih tua Adakah wajahku terlihat sakit? kurang lebih seperti itulah yang seharusnya keluar dari ranum Adeen. Yang lebih tua terkekeh, Adeen terlihat sehat hanya kedinginan saja. Harus diakui bahwa suhu kali ini memang tak biasa dan menghebohkan dunia. Bahkan kedua orang tua Milo dan Adeen saling bernostalgia tentang masa muda mereka karena suasana Jakarta, hanya berbeda pada gedung-gedung tinggi yang kini menjulang saja. Setelah sempat melewati tahun-tahun tanpa langit yang cerah beberapa puluh tahun belakangan Jakarta kembali hidup, langit cerah yang dulu sempat hilang, macet yang menjadi makanan sehari-hari— hilang. Dan keindahan kota Jakarta benar-benar terlihat— indah sekali seolah sedang hidup di luar negeri.

“Bersyukurlah… masih ingat semalam para ibu mengatakan dulu Jakarta tak pernah seperti ini, mereka tumbuh bersama kota yang membaik ini.”

Adeen mendengus, bukan maksud tidak bersyukur tapi dia memang tidak tahan dengan suhu yang dingin, dia paham bahwa tak selamanya Jakarta panas seperti beberapa waktu lalu; tapi saat beberapa jam lagi dia akan menghidupkan AC adalah hal yang enggan ia lakukan, pagi hari kedinginan dan siang hari kepanasan. Sudah berapa banyak kasus kesehatan yang memenuhi layar televisi?

Adeeeen!”

Teriakan ibunya tiba-tiba memenuhi rungu nya, dirinya masih ingat betul jika jam-jam seperti ini sang ibu akan menerobos masuk ke kamarnya dan mendapati dirinya masih bergelung dibalik selimut.

Kamu gak akan sakit bahkan kalo kamu telanjang di kutub utara, kita istimewa, Adeen!”

Wajah Adeen berubah menjadi masam saat kata istimewa selalu ditekankan oleh sang ibu dan hal tersebut mengundang tawa dari yang lebih tua untuk kesekian kalinya.

“Ya… nasib yang tidak bisa kamu pilih, eh, tapi kamu terlahir saja karena sudah sepakat dengan jalan hidup yang akan kamu lewati, lalu kenapa harus masam setiap ingat bahwa kita berbeda.” tanya Milo sambil menyeruput segelas teh hangat “Kak Milo, berpikir begitu? menua setelah umur 100 tahun? ibu bahkan hari ini masih terlihat seperti anak usia tujuh belas tahun.”

“Penuaannya memang berhenti di usia tujuh belas tahun dan akan berlanjut setelah umur 100 tahun.” sahut Milo dengan santai.

Adeen kembali mengaduk sup buatan, mencicipi sedikit karena ya apa yang dikatakan Milo benar. Dulu dia juga senang karena melihat wajah ibunya masih terlihat muda meski sudah tak lagi muda, sebuah kebanggaan karena teman-temannya juga selalu memuji dirinya yang mewarisi parah ibunya, meski sekarang terasa biasa saja dan ada kalanya terasa memuakkan.

“Deen… lusa ke Jepang yuk.”

bagus,

Milo membuat Adeen tersedak sup yang sedang dicicipi dan bukannya membantu malah menertawakan.

“Bisa gak? bisa gak? gak usah dada…” Adeen bungkam melihat tiket elektronik yang ditunjukkan oleh Milo “Ini namanya pemaksaan!”

Milo tak menanggapi Adeen lebih lanjut, ia membawa sisa teh hangatnya dengan dua toples kue nastar buatan ibu Adeen ke ruang tamu, membiarkan Adeen menjerit kesal di dapur bersama dengan sup yang belum sepenuhnya jadi. 

Hidden Darkness Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang