[5]. Ipar dari Kota

194 6 0
                                    

Paman menyentuh kening Anaya, terkejut oleh suhu yang sangat panas. Keduanya bingung, namun kemudian Amar datang dengan membawa kantong kresek yang berisi air mineral dan nasi bungkus.

"Kenapa dengan Kakak Iparku, Paman?" tanya Amar kaget melihat wajah Anaya merah dan kakak serta pamannya terlihat cemas.

"Kepanasan." Kakak tertuanya, Jaka yang dingin dan datar itu menjawab. Amar menatapnya dengan mata terbuka lebar. Baru pertama kali ini dia melihat wajah Jaka dan sorot matanya begitu khawatir. Dia bahkan begitu tegar ketika dulu Ambu meninggal dan adik bungsunya kambuh sakitnya.

Tanpa ragu Jana segera mengambil sebotol air mineral dingin dan mengusapkannya di seluruh wajah, ubun-ubun, tangan, dan kaki Anaya, sambil memberinya sedikit demi sedikit untuk diminum. Perlahan-lahan, suhu tubuh Anaya mulai turun. Jana sadar bahwa yang dilakukannya hanya bersifat sementara. Dia merasa perlu segera mendapatkan mobil untuk membawa mereka pulang ke desa.

Semesta rupanya masih berpihak pada mereka. Tak lama sebuah angkutan umum yang kosong melintas dan berhenti tepat di depan mereka.

"Naik, Pak?" tanya supir angkot menawari.

"Antar sampai ke desa Lembah Kujang Kampung Buniseuri, berapa, Pak?"

"Wah, jauh, ya? Kalau jauh sistemnya sewa, harganya setengah juta ...." Supir angkot dan Paman pun bernegosiasi harga.

Amar melotot ketika mendengar nominal harga. Meskipun dia orang kampung, Amar pernah sekolah dan belajar berhitung. Dia pun sering mengikuti bapak dan pamannya ke kota dulu. Meskipun harus menyewa mobil, hanya paling tinggi 300 ribu. Sepertinya supir angkot itu hanya ingin memeras mereka. Namun, pamannya memberi isyarat agar diam ketika Amar berniat melabrak supir angkot itu.

Jana memutuskan untuk menyewa mobil hingga ke desa meskipun biayanya mahal sampai menghabiskan setengah juta. Desa mereka terletak jauh dari kota kabupaten dan terpencil. Namun membawa Anaya yang pingsan dengan angkutan umum yang naik turun tentu tidak nyaman.

Mobil angkot yang disewa bersedia mengantar mereka hingga ke ujung desa tetangga terakhir sebelum desa mereka sendiri. Jalan menuju desa mereka masih berbatu-batu besar, menanjak dan sempit, harus melintasi sungai dan terendam air selokan. Kadang-kadang jika hujan akan licin dan terendam air. Selama ini belum ada kendaraan yang bisa masuk kecuali motor trail dan sepeda. Dari sana, mereka berjalan kaki menuju rumah mereka.

Mereka tiba di rumah peninggalan orang tua mereka pada sore hari dan segera membaringkan tubuh istrinya di salah satu kamar depan yang ada di rumah kecil mereka. Jaka memandangi wajah istrinya yang tampak sangat lelah dan menderita. Mereka pun keluar dari kamar itu.

Yana, adik ketiga berusia 10 tahun yang tinggal di rumah, menyambut mereka bersama Neneknya atau sering disebut Nenek Jana adalah bibinya dari pihak ibu mereka. Yana menatap mereka dengan tatapan bertanya, lalu Nenek Jana bertanya. "Ada apa dengan cucu menantuku?"

"Dia pingsan." Amar menjawab atas nama Jaka sambil melihat mereka sekilas.

"Panggil Mantri Juju kemari," titah Neneknya.

"Tapi, kami tidak punya uang lagi, Nenek." Amar berkata ragu. Dia tidak ingin menyusahkan Nenek Jana lagi. Setelah memberikan mahar dan seserahan sebesar 30 juta yang berasal dari pinjaman Paman Janu, bahkan untuk membeli garam saja mereka tidak punya.

"Tidak apa-apa. Paman masih memiliki uang 100 ribu. Kakak iparmu harus segera diobati atau kesehatan dia akan memburuk dan berakibat fatal di masa depan."

"Baik." Jaka akhirnya menjawab dengan singkat meskipun tanpa ekspresi. Seperti itulah dia.

"Biar saya yang memanggilnya, Nak. Kalian bertiga makanlah. Aku sudah menyiapkan makanan," kata Neneknya.

DENDAM NYAI RENGGANISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang