[10-1].

136 3 0
                                    

Sore hari ketika Anaya terbangun dari tidurnya, amarahnya telah mereda. Ia menguap perlahan, tubuhnya yang lelah kini segar kembali. Namun, ia tidak berniat memberi Amar kesempatan untuk berhadapan dengannya.

Suara ketukan di pintu terdengar, mengganggu ketenangan Anaya. Dengan nada ketus, ia bertanya, "Ada apa?"

"Apa Yana sudah bangun? Dia belum makan siang. Makan sore sudah siap." Terdengar suara Amar di balik pintu.

Anaya menatap Yana yang masih terbaring di sebelahnya. "Yana masih tidur."

"Baiklah, jika begitu, kamu makan duluan." Anaya terdiam. Tidak ada suara lagi. Namun, karena perutnya terus keroncongan ia pun beranjak dari tempat tidur.

Di meja dapur, terhidang nasi hangat dengan sayur bening oyong yang masih mengepulkan asap. Ada ikan cumi cucut dan sambal kering yang sama seperti sebelumnya. Anaya teringat stok makanannya. Setelah memberikan 2 bungkus mi instan, cokelat, roti, dan beberapa butir gula-gula ke nenek dan Yana, masih ada beberapa tersisa. Anaya berniat memasak mi untuk dirinya sendiri. Ia mengambil satu bungkus mi instan. Namun, saat teringat akan Amar yang sudah memasak untuknya meskipun lelah pulang dari sawah, ia memutuskan untuk berbagi meskipun masih merasa kesal. Anaya mengambil dua bungkus mi.

Di depan tungku, melihat Anaya yang kebingungan, Amar pun bertanya dengan nada lebih lembut dari biasanya, "Apa yang sedang kamu cari?"

"Emm, Wajan, ketel, panci atau apalah. Aku ingin merebus mi," Anaya menunjukkan bungkusan mi instan.

Amar tanpa berkata lagi segera mengambil panci di rak bambu dan mengangkat dandang dari atas tungku. Kemudian meletakkan  panci di atasnya. "Air panas atau dingin?"

"Panas, agar cepat mendidih!"

Anaya mengira Amar akan marah ketika berkata dengan nada ketus dan tidak mau disuruh-suruh olehnya. Namun, tanpa diduga dengan sabar, Amar langsung mengambil air panas dari panci di bagian belakang tunggu. Dia sengaja menjerang air sangat banyak agar dapat digunakan untuk digunakan untuk Yana dan Anaya nantinya. 

"Setelah makan, mandilah dengan air panas dari dandang itu. Udara sore sangat dingin, tidak baik mandi dengan air dingin," sarannya.

"Hmm." Anaya hanya bergumam. Dia merasa Amar berubah baik terlalu tiba-tiba. Seperti bukan dirinya sama sekali.  

Anaya kemudian melihat ada bawang merah dalam wadah besek di rak dapur. Anaya memasukkan bawang merah tersebut dan membuka bungkus mi instan untuk direbus. Dia pun ingat sesuatu dan berlari ke belakang rumah. Amar yang kaget berlari mengikutinya. Anaya hanya menoleh dan bersikap seolah-olah tak peduli meskipun ingin tertawa karena melihat Amar kaget setengah mati karena dia lari tiba-tiba.

Di pojok halaman dekat kakus dan kamar mandi,  tumbuh beberapa bayam liar dan ginseng liar kolesom. Anaya pun memetik beberapa lembar pucuknya yang masih muda. Lalu bergegas kembali ke dapur. Amar lega dan kembali mengikutinya. Setelah mi mendidih, Anaya mengangkatnya dan mengganti airnya dengan air baru dari panci panas.

Mi dimasukkan ke dalam rantang besar yang tidak terpakai yang diambilnya dari rak. Di amben dapur mereka, kini terhidang mi rebus dengan sayuran bayam, tomat, dan pucuk ginseng liar yang mengeluarkan aroma harum bawang ayam.

Mereka pun bersiap untuk makan sore. Namun tiba-tiba, Yana muncul dari balik pintu dan menunjuk pada mi. Amar berniat melarangnya dengan memberi kode menggeleng dan menyuruh agar Yana duduk dan ia akan segera mengambilkan nasi dan sayur. Namun, Anaya mengangkat tangannya pada Amar, menyuruhnya untuk berdiam diri. Ia ingin mengurus Yana sendiri. Amar pun tak menolak dan membiarkan Anaya menangani Yana.

"Mau mi?" tanya Anaya. Yana malah menoleh dan menatap Amar dengan rasa takut. Amar memandang Anaya karena mi itu sebenarnya miliknya. Lalu Amar menatap Anaya.

"Katakan, 'm-a-u'."

Yana masih diam.

"Mau," ulang Anaya perintah dengan tegas.

"Mm .. a ... u." Yana menjawab dengan ragu.

"Mau 'mi'."

"M-mau mm-i."

Anaya tak bosan mengulangi perintah tersebut. Ia ingin Yana belajar berbicara. Pada akhirnya, Yana berhasil mengucapkan kata "mau" dan "mi", meskipun masih terbata-bata.

"Bagus!" ucap Anaya sambil mengacungkan jempol dan menyendokkan mi ke dalam piring nasi Yana. Yana sangat senang dan ia memakan mi dengan cara menarik dan memainkannya dengan antusias. Selama Yana tenang, Amar tidak menegurnya.

Sore itu, mereka makan dengan kenyang.

Malamnya, perkampungan menjadi gelap dan rumah mereka diterangi oleh nyala lampu teplok yang bergoyang-goyang tertiup angin. Di ruang tengah rumah mereka, Amar duduk di kursi kayu sambil menjahit pakaian Yana yang sobek karena terlalu rapuh dan sering bergerak aktif.

Sementara itu, Anaya dan Yana duduk di atas amben. Anaya membuatkan Amar huruf dan angka bergambar binatang, karakter keluarga dan benda-benda di dalam rumah yang ia gambar sendiri dan memberi nama pada setiap gambar tersebut. Lalu, ia menunjukkan angka bergambar tersebut.

"Ini adalah huruf 'A', Amar," kata Anaya pada Amar. Yana dan Amar terpaku dan saling pandang. Namun, Anaya melanjutkan ucapannya.

****

Lanjut bagian 2.


DENDAM NYAI RENGGANISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang