[6]. Desa Terpencil

166 3 0
                                    

Anaya akhirnya tersadar dari pingsannya dan memerhatikan sekeliling kamar. Ranjang kayu dengan kasur kapuk yang lepek beralas tikar pandan. Dinding bambu bolong-bolong di sana sini tanpa cat dan atapnya tanpa langit-langit sehinga ruangan itu pun terasa lebih dingin dan sunyi.

Ketika Anaya menengok ke samping kiri dia menemukan seorang anak kecil duduk menunggunya di kursi bambu. Ketika Anaya menatapnya, mata anak itu bersirobok dengannya. Namun, tiba-tiba ia berpaling dan berlari keluar.

"Kamu siapa?" tanya Anaya, tetapi anak tersebut terus berlari tanpa menjawab. Anaya menghela napas dan merangkai kembali ingatannya. Yang terakhir ia ingat adalah ketika ia mendapatkan berita bahwa jenazah yang ditemukan itu dikatakan Mariam dan para petugas kepolisian itu adalah ibu kandungnya sendiri. Meskipun tak terima, jenazah pada hari itu buru-buru dikebumikan. Namun, ketika dirinya masih berada di pemakaman dia kemudian diseret pulang ke rumah dan dinikahkan dengan paksa.

Pikiran Anaya yang tidak jernih spontan memberontak dan itu membuat ibu tirinya melemparkannya keluar bersama barang-barang yang sudah Anaya siapkan untuk melarikan diri. Dia berniat kabur sebelum pernikahan dan mencari ibunya. Meskipun ibu tirinya dan petugas mengatakan bahwa jenazah tersebut adalah ibunya, Anaya tidak serta menerima begitu saja. Ia tidak percaya bahwa ibunya sudah meninggal, terlebih lagi berita itu datang dari ibu tirinya yang jelas-jelas ingin menyingkirkan mereka berdua.

Anaya memiliki keyakinan kuat di dalam hatinya bahwa jenazah yang rusak bukanlah ibunya. Ibunya masih hidup dan berada di suatu tempat. Oleh karena itu, ia harus mencarinya. Anaya telah menyusun banyak rencana, tetapi rencananya kalah oleh siasat licik ibunya.

"Sialan, mengapa aku harus pingsan segala?" gumam Anaya. Sekarang ia berada di suatu tempat yang tidak ia kenali. Anaya curiga bahwa ia berada di rumah suaminya yang baru saja dinikahinya. Ia berasal dari desa terpencil, dan ibu tirinya ingin mengusir dan menjauhkannya sejauh mungkin setelah menghilangkan ibunya. Anaya benar-benar harus kembali dan mencari ibunya.

"Ranselku? Di mana ranselku!" Anaya mencari ranselnya dengan panik, tetapi ia tak segera menemukannya. Di dalam ransel itu, ia menyimpan berbagai peralatan berharga untuk bertahan hidup.

Pintu kamar terbuka dari luar, dan dua sosok muncul. Salah satunya adalah seorang remaja lekaki sebaya dengan Anaya. Sementara itu, seorang anak kecil yang sebelumnya berlari keluar kamar. Anaya sekarang melihat mereka dengan jelas. Remaja itu adalah adik dari suaminya yang ikut menjemputnya ke rumah, tetapi suaminya tidak terlihat.

Anak kecil itu tampak berusia sekitar 10-12 tahun, tetapi sikap dan wajahnya seperti seorang anak di bawah usia 7 tahun. Mungkin ia mengalami keterbelakangan mental. Meskipun begitu, wajahnya tidak terlihat seperti itu, meskipun terlihat lebih kekanak-kanakan. Anaya tidak ingin memusingkan hal itu. Mereka bukanlah urusannya saat ini. Yang penting, Anaya harus mencari ibunya.

"Ranselku ada di mana?" tanya Anaya pada remaja itu. Orang yang ditanya hanya diam, dan wajahnya tampak waspada.

"Kamu mengerti bahasa Indonesia, kan? Ransel itu berisi pakaian, em ...."Anaya tak melanjutkan kata-kata pakaian dalamnya meskipun kesal. Wajah remaja itu terlihat bahwa ia tidak mempercayainya. Mungkin anak itu berpikir bahwa Anaya akan kabur. Anaya memang berniat untuk melarikan diri.

Anaya mengulang pertanyaan dalam bahasa Sunda, "Cepat! Aku butuh ganti pakaian! Pakaian dalamku lengket!" Anaya akhirnya keceplosan karena sudah tak tahan lagi. 

Orang yang ditatap oleh Anaya melotot dan wajahnya memerah karena malu. Lalu, ia meletakkan nampan berisi mangkuk seng dan segelas air di atas nakas. Anaya meliriknya. Di dalam mangkuk terdapat bubur polos dan air putih dalam gelas seng.

DENDAM NYAI RENGGANISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang