[1]. Dendam Nyai Rengganis

635 10 1
                                    

Rengganis mendengarkan harmoni hujan dengan saksama di luar rumahnya. Suara gemuruh hujan badai dan petir yang menggelegar di kejauhan membuatnya semakin teringat akan keselamatan suaminya. Pandangannya selalu tertuju pada Gunung Kujang, tempat suaminya pergi mencari rezeki dengan jalan berburu.

Tidak hanya sekali atau dua kali, ia telah melarang suaminya pergi berburu. Namun, sayangnya, perut mereka dengan keempat anak mereka dan biaya hidup mereka tidak mencukupi hanya dengan mengandalkan sepetak sawah dan kebun yang sederhana.

Bersamaan dengan gelegar petir terakhir, firasat kuat di hatinya dan mimpi-mimpi yang dia dapatkan sebelumnya: mengisyaratkan bahwa kali ini suaminya mengalami bahaya. Suara tangisan putra bungsunya, Yana, membuatnya menoleh dan segera memeluknya, memberikannya air susu. Bayi berusia setahun itu pun kembali tenang sambil menyedot sumber kehidupannya. Sementara itu, ketiga putranya sedang terlelap tidur.

Hujan perlahan mereda, dan yang tersisa hanya gerimis dan tanah yang becek dan basah. Suara ketukan pintu di luar rumah mereka membuat Rengganis tersentak.

"Kang Janu? Apakah itu dirimu?" Dengan penuh sukacita, ia melepaskan bibir Yana dari dadanya dan perlahan menidurkannya di atas amben tua yang diberi tikar usang milik mereka. Kemudian dengan cepat, ia berlari menuju pintu.

"Kakang, kamu pulang---" Di depan pintu rumahnya, berdiri seseorang dengan wajah yang berlumuran dan mengenakan jas hujan hitam. Rengganis mengenalinya. Dia adalah anak buah Jaya, saudara suaminya.

Jalu, apa yang kamu inginkan dengan datang ke sini? Kami sudah mengatakan jangan pernah menginjakkan kaki di rumah kami lagi." Rengganis berniat menutup pintu dengan segera. Namun, Jalu dengan cepat menahan pintu dengan kekuatan tangannya.

"Lepas! Pergi dari sini!"

"Tunggu, Nyai. Saya tidak bermaksud jahat."

"Apa maksudmu tidak bermaksud jahat? Pergi!" Rengganis sudah tidak sabar lagi. Dia tahu Jalu hanyalah orang suruhan dari Jaya yang tidak pernah berhenti mengganggu kehidupan mereka sejak sebelum mereka berpisah rumah. Dia memukul lengan Jalu.

Jalu tidak putus asa.

"Begini, Nyai. Apakah kamu sedang menunggu suamimu?"

"Kakang Janu?" Mata Rengganis langsung terbelalak.

"Iya, Nyai."

"Katakan! Apa yang kamu lakukan pada suamiku?" Rengganis menarik kerah Jalu sehingga lelaki tersebut tercekik.

"A-ampun, Nyai. To-tolong lepaskan dulu."

"Hah, cepat katakan!" Rengganis melonggarkan cekikan.

"Suami Nyai, diserang oleh seekor harimau di Leuweung Kujang."

"Apa yang kamu katakan itu benar?" Rengganis kembali menarik kerah jas Jalu sehingga tercekik.

"I-iyaa, Nya-Nyai ...." Mata Jalu terbelalak. Air mata Rengganis luruh seketika. Seluruh tubuh dan kakinya bergetar mendengarnya. Namun, dia segera sadar kala melihat Jalu kesulitan bernapas. Dia melepaskannya dan segera masuk ke dalam kamar.

**
"Jaka, bangun! Jaga adikmu dan tolong cari Mang Jana. Katakan Ambu akan mencari Bapakmu di Gunung Kujang dengan si Jalu."

Jaka membuka matanya seketika. Meskipun pendengaran dan penglihatan yang masih lamat-lamat dia bertanya dengan penuh kekhawatiran.

"Bapak kenapa, Ambu?"

"Bapakmu, dia, dia .... katanya diserang harimau. Doakan dia selamat, Jaka...." Suara Rengganis bergetar.

"Apa? Bapak mengalami kecelakaan? Pergi ke hutan dengan si Jalu? Ambu, tolong jangan pergi! Kita sebaiknya menghubungi Mang Jana terlebih dahulu!"

"Nyaai, cepat!" Terdengar suara teriakan dari luar yang membuat mereka terkejut.

"Tidak ada waktu!" Rengganis memeluk dan menciumi bayinya seolah-olah itu akan menjadi kali terakhir. Dia mengusap wajah kedua anaknya yang lain dengan penuh kasih. Kemudian dia menepuk bahu Jaka dan mengelus rambutnya.

"Jadilah, Kakak yang baik dan dapat diandalkan."

Rengganis mengambil jas hujan yang tergantung di pintu kamar. Lalu ia pun bergegas pergi.

"Ambu, izinkan aku pergi bersamamu!" Jaka mengejar. Dia merasakan firasat yang sangat buruk tentang hal itu. Dia tahu bahwa Jalu adalah orang suruhan adik dari ayahnya yang memiliki perilaku yang tidak baik. Dia sombong dan suka menindas. Jaka tidak ingin terjadi hal buruk pada ambu dan bapaknya.

Rengganis hanya menoleh sesaat pada Jaka, tersenyum dan melambai lalu bergegas mengikuti langkah Jalu yang memimpin di depan sambil membawa obor yang berkelip-kelip tertimpa rinai hujan.

Jaka terkesiap melihatnya. Jaka berencana mengejar ibunya, tetapi suara tangisan bayi membuatnya mengurungkan niatnya dan ia berlari masuk ke dalam. Ia harus membangunkan adik-adiknya dan memberitahu Mang Jana agar segera menyusul mereka.

Entah mengapa, dia merasa itu adalah senyuman dan lambaian terakhir ibunya.

***


Sudah tayang di KBM App 23 bab. Belum dikunci Gaes.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DENDAM NYAI RENGGANISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang