13-1.

106 6 1
                                    

Hari beranjak siang, Amar sibuk membersihkan rumah, halaman dan mencuci pakaian. Lalu bersiap-siap untuk pergi ke kebun untuk membersihkan rumput. Kehadiran Anaya di rumah dapat membuatnya memutuskan untuk pergi ke kebun membersihkan rumput yang sudah tinggi , karena biasanya dia harus menjaga Yana dan tidak bisa pergi ke mana-mana jika Jaka tidak ada.

"Amar, kapan Jaka pulang?" tanya Anaya tiba-tiba. Amar yang sedang mempersiapkan parang dan cangkul dalam keranjang bambu tidak menoleh, "Besok!" jawabnya singkat, lalu melanjutkan pekerjaannya.

"Oh." Anaya berniat meminjam cangkul kecil untuk membersihkan rumput yang terselip di bilik bambu rumah. Tangannya terulur, tetapi ditarik dengan keras oleh Amar. 

"Mau apa?" sentak Amar ketus.

"Mau membunuhmu!" Anaya menarik tangannya yang dipegang dengan kencang. Dia memutar bola matanya kesal sehingga Yana kaget mendengar suaranya dan refleks menutup telinga. Sedangkan Amar hanya memelototinya. Namun Anaya tak peduli dan pergi meninggalkannya. Di kursi di bawah pohon dia duduk mengusap-usap lengannya yang kemerahan karena ditarik kasar. 

Amar melihatnya. Namun ia bergeming. Kemudian berbicara dengan lembut pada Yana, meminta agar dia berperilaku baik, tidak mengamuk, dan makan dengan baik. Dia menyampaikan akan pergi ke kebun memotong rumput dan memetik daun-daun yang bisa disayur. Yana hanya mengangguk dan menggeleng, lalu tertawa-tawa tanpa alasan yang jelas. Anaya memperhatikan dan merasa kesal dengan perbedaan perlakuan Amar padanya dan Yana.

"Huh, tunggu saja. Aku akan segera pergi dari rumah ini!" Secara kebetulan, Amar seperti mendapatkan firasat dan tiba-tiba menoleh, menatap Anaya. Anaya tersentak dan merasakan jantungnya berdebar-debar. Dia merasakan perasaan takut ketahuan apa yang sedang dipikirkannya.

"Apa?" Amar heran dengan sikap Anaya. 

"Apa, Apa? Geer, dih!" Anaya menjawab dengan galak kemudian melengos untuk menutupi kesalahannya. Amar tiba-tiba merasakan perasaan was-was yang tak diketahuinya penyebabnya seketika.

Amar bergegas keluar sembari menggendong keranjangnya. Namun, Yana tiba-tiba berlari mengejarnya dan berteriak-teriak dengan panik. 

"Uuuh. Amaaarr. Amaaarr! Uuuh!" 

"Yana! Jangan ikut, Amar mau kerja! Kita akan buat permainan menyenangkan di rumah." Anaya membujuk Yana yang akhirnya setelah bersusah payah menahannya dia bersedia kembali masuk ke dalam rumah bersama. 

Anaya mengajaknya ke belakang rumah. Beberapa tanaman bayam yang tidak terurus dia bersihkan rumput dan bebatuannya. Tanah dikeruk dan ditinggikan di sekitar akar bayam begitu juga dengan empon-empon. Anaya menaburkan abu yang sudah dingin dari tungku dan sedikit kotoran kambing yang tersedia di pojok luar dapur sisa memupuk sayuran di kebun dan sawah. 

Kini terlihat tanaman sayur dan bumbu dapur itu seperti ditanam dan dirawat dengan baik. Dia menyiraminya bersama Amar. 

Anaya lalu memeriksa di dalam kamar mandi dengan memukul salah satu ujung batu yang mencuat dengan memukul ujung kored. Matanya terbelalak kala melihat bagian dalam batu yang sudah terkikis cangkangnya. Kemudian senyumnya terbit kala kulit batu batu terkikis. Anaya lalu mengganti ganjal dengan batu bata yang tergeletak di pojok dan membawa batu tersebut ke dalam kamar setelah mencucinya. 

Anaya menemani Yana bermain dengan membuat pesawat dari kertas dan mewarnainya. Yana sangat menyukainya dan memainkannya dengan riang hingga terlelap tidur karena kelelahan. Hari beranjak siang. Anaya mengambil pakaian yang sudah kering dan memasukan ke dalam ransel.

Dia berencana pergi diam-diam. Anaya menatap dan mengusap kepala Yana yang tertidur di ruangan tengah. "Maaf, Yana. Kak Ay harus pergi ke kota mencari ibunya Kak Ay. Jika ada umur panjang, selama langit masih berdiri, Kak Ay pasti akan menemui Yana kembali suatu saat. Jadilah adik baik dan saleh."

***

Terima kasih, sudah berkenan membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan komentar sebanyak-banyaknya biar author semangat update-nya.

DENDAM NYAI RENGGANISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang