11-2.

123 6 2
                                    




Vote dulu sebelum baca, ya.

Amar kembali tertegun. Namun, kali ini dia memandang kakak iparnya dengan tenang. Akan tetapi hanya sesaat, tiba-tiba wajahnya menyeringai. Dia ingin menghukum perempuan itu dengan cara menakutinya. Anaya melihat senyum jahat Amar dan merasakan merinding. Dia mencondongkan wajahnya dengan tatapan melotot mengerikan. Namun tiba-tiba terdengar suara pintu seperti di banting dari luar. 

"A-apa, itu, Mar?" Anaya nyaris berteriak kaget. Namun, Amar malah menutup mulut dan hidungnya dengan telapak tangan membuat Anaya kesulitan bernapas. Amar melirik Yana yang masih tertidur pulas setelah minum obat. 

Anaya melihat Amar lengah. Kesempatan itu dia gunakan untuk mendorongnya dengan kuat sehingga Amar terjajar. Meskipun dia menatap Anaya tajam, tetapi Amar memilih bergegas ke depan. 

Anaya sepeninggalan Amar, menghela napas lega karena adik suaminya itu melepaskannya. Namun, dia merasa sedikit bersalah karena tidak mengatakan jika penyebab Yana kejang adalah roti cokelat dan permen yang diberikan ketika di rumah Nenek Suniah. 

Beruntung dia tidak keceplosan pada Amar. Sampai kapan pun Anaya tak akan mengatakannya. Jika dia melakukannya, Anaya yakin, Amar akan terus menyalahkannya dan mungkin membuatnya menerima konsekuensi berat. 

"Huh, jangan pernah bermimpi untuk menghukum dan menyalahkanku, adik bodoh!" gumam Anaya. 

Kemudian dia duduk di kursi samping ranjang. Dia kembali memeriksa kondisi Yana dan membetulkan selimut tanggung yang tak menutupi kaki dan dadanya degan baik itu. Lagipula bahannya sangat tipis dan tidak cukup melindungi Yana dari udara yang sangat dingin. Jika mereka ada di kota, Anaya sangat ingin  membelikan Yana selimut tebal. 

"Maaf, ya, Dek. Kamu sakit gara-gara Kak Ay. Semoga lekas sembuh. Esok Kakak akan buatkan mi bebas gluten untukmu."

Sementara itu, Amar yang memeriksa ruang depan menemukan pintu masih terkunci dari dalam. Kala dia membuka dan mencari keberadaan Jaka di luar, dia malah disambut angin kencang yang berputar-putar dan menabraknya hingga terjajar ke dalam.

"Argh!" Angin apa itu? Aneh sekali, pikirnya. 

Amar kaget dengan cepat dia menggapai tiang pintu sehingga tertahan. Namun, angin kencang dan berputar-putar itu seperti hendak menerobos masuk rumah. Anehnya situasi sekitar rumah tampak tenang tak ada hujan tak ada badai. Begitu pula dengan Anaya dan bagian rumah lainnya. Seperti tak terpengaruh oleh angin kencang itu. 

Amar berjuang keras menahan dengan sekuat tenaga agar dirinya tak terbanting ke dalam rumah. Sepertinya bukan angin sembarang angin. Di saat kesusahan itu dia teringat bayangan ibunya saat masih kecil. Bayangan yang samar dan nyaris terlupakan. 

"Gusti Sang Pencipta. Aku tak ingin angin ini menyerang adikku!" Amar menahan diri di tengah pintu dan membiarkan dirinya kesakitan. Dia menggigit bibirnya dan memegang erat-erat tiang kayu dengan kedua belah tangannya. 

"Ambuuu, aku tak ingin ditinggalkan Yana dan meninggalkannya seperti ibu dulu. Aku harus kuat! Arrrgghh!"

Amar menahan teriakannya sekuat tenaga. 

Saat itulah sesuatu seperti bayangan berwarna kecubung melayang dari dalam dan menghantam angin aneh yang berputar-putar itu. Dalam sekejap angin tersebut menjadi tenang hingga Amar merasakan tekanan liar dari angin itu berkurang drastis. Lalu pusaran angin tersebut menjauh ke halaman rumah dan kemudian menghilang begitu saja. 

Amar menarik napas lega. Dia bercucuran keringat. Amar memastikan keadaan di halaman baik-baik saja dan Jaka belum pulang. Kemudian dia bergegas masuk dan mengunci pintu dari dalam. 

Ketika Amar kembali dia menemukan Anaya sudah tertidur di kursi dengan posisi kepala menghadap dan tangan memegang lengan Yana. Pasti rasanya tak nyaman tidur begitu sepanjang malam, pikirnya. 

Anaya pun terlelap tidur sembari menunggui Yana. Ketika malam tiba dan Amar memeriksa mereka berdua dia memperhatikan Anaya sudah tertidur di kursi dengan posisi menghadap dan memeluk Yana. Pasti rasanya tak nyaman tidur begitu sepanjang malam. 

Dengan penuh kesadaran, Amar memapah Anaya dan membaringkan di samping Yana lalu menyelimutinya. Setelah itu Amar memandangi mereka berdua yang terlelap dalam tidur. Wajah Anaya yang polos dan tenang ketika tidur sungguh terlihat imut. Yana yang manis dan tidur dengan nyenyak menandakan keadaannya stabil. 

Amar kemudian teringat bayangan sosok seorang ibu di masa kecilnya yang masih dia ingat. Seorang perempuan lembut dan menyayangi mereka terutama Yana. Dia kembali teringat ucapan ibunya bahwa mereka harus saling menjaga dan menyayangi. Kemudian pesan terakhir ibunya: siapa pun yang menikah duluan harus menjadikan kakak ipar yang mereka dapatkan sebagai ibu pengganti mereka dan menerimanya penuh kasih sayang. 

Amar tersenyum lalu menatap Anaya dengan saksama. Anaya memanglah kakak ipar pertamanya yang dibawa ke rumah oleh kakak tertuanya. Namun, dia bukanlah perempuan yang keibuan atau sosok kakak ipar yang dewasa. Dia hanyalah gadis kecil keras kepala yang manja dan sombong dari kota. Umur mereka tak jauh beda. Dia gadis cengeng dan dibuang keluarganya sendiri. Bagaimana mungkin bisa menjadi seorang  pengganti ibu bagi mereka? Sungguh mustahil pikir Yana. 

"Amar, meskipun dia sebaya denganmu, dia tetaplah kakak iparmu. Dia dikirim sebagai pengganti sosok seorang ibu bagi kalian dan terutama Yana. Perlakukanlah dia dengan baik." 

Amar terkejut mendengar suara yang seolah-olah keluar dari kepalanya. Suara yang sangat jelas terdengar di telinga. Suara yang mirip dengan milik sosok perempuan yang sangat dia rindukan. 

"Ambu? Apakah kau di sini? Apakah engkau menemui kami untuk dia? Namun, mengapa harus dia? Mengapa bukan sosok seperti Kak Ainayah dan Bu Guru Indah yang menjadi jodoh Kakakku?" Amar membatin. 

Tak ada suara dan apa pun di kamar itu. Hanya keheningan dan deru napas mereka bertiga. Amar menggeleng-geleng dan menyadari jika semua hanya halusinasi belaka.

"Tak mungkin Ambu hadir di sini. Aku sungguh sudah gila rupanya."

***

Terima kasih, sudah berkenan membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak, biar semangat update-nya.













DENDAM NYAI RENGGANISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang