12-2.

108 5 0
                                    

"Biarkan aku yang menyuapinya. Jika makanannya tumpah di kasur, aku yang harus membersihkannya."

"Baiklah, silakan." Anaya tidak melarang. Selain itu, dia perlu tahu bagaimana cara menyuapi Yana yang, meski fisiknya sudah remaja, pikirannya masih seperti anak berusia 5-7 tahun.

Amar dengan lembut menyuapi Yana dengan sendok karena mereka tidak memiliki garpu. Sementara itu, Anaya mengambil mi miliknya dan menggunakan sumpit dari kayu bambu yang dia buat menggunakan golok di dapur.

Amar dan Yana terpukau melihat keahlian Anaya dalam menggunakan sumpit. Yana pun berhenti makan dan terlihat tertarik untuk mencoba menggunakan alat tersebut.

"Makanlah, nanti Kak Ay akan membuatkan dan mengajarkan cara makan dengan sumpit setelah setelah nanti Yana benar-benar sembuh. Oke?"

"O-oke," jawab Yana terbata-bata, terlihat bahwa dia sangat menyukai mi buatan Anaya yang lembut dan lezat meskipun tidak mengandung daging ayam.

Setelah selesai makan, Amar membawa mangkuk-mangkuk tersebut dan mencucinya di sumur.

Saat itulah, Nenek Suniah berteriak-teriak panik dari halaman rumah mereka. Dia tergesa-gesa berkunjung setelah mendengar kabar dari Mantri Juju yang dipanggil ke rumah untuk mengobati gejala asam urat yang kambuh pada Nenek Suniah.

"Yana, Ana, apa kabar kalian?" tanya Nenek dengan khawatir. Dia memeriksa tubuh Yana yang masih duduk di atas ranjang. Baru dua malam yang lalu Nenek tak menemani anak itu, dan kejadian buruk pun terjadi. Padahal sudah lebih dari setahun Yana tak pernah mengalami kejang-kejang.

"Yana baik-baik saja, Nek. Sepertinya dia salah makan. Ketika di rumah Nenek, dia makan mi dan cokelat. Itu tidak baik untuk kesehatan otak dan tubuhnya," jelas Anaya dengan pasrah jika Nenek menyalahkannya. Namun, Nenek Suniah hanya menoleh padanya sejenak lalu merenung. Dia merasa bersalah telah meninggalkan mereka bertiga saja di rumah tanpa orang dewasa. 

"Itu kesalahan Nenek yang memberikannya pada Yana. Nak, terima kasih sudah menjaga dan merawat Yana menggantikan Nenek. Maafkan Nenek karena tidak enak badan selama dua hari ini."

"Tidak apa-apa, Nek. Bagaimana dengan Nenek? Pasti Nenek memaksakan diri kemari karena cemas."

"Nenek sudah minum obatnya. Sudah membaik. Nak Ana, Nenek mohon padamu, jangan pernah tinggalkan Yana dan kakak-kakaknya. Kasihan sekali hidup mereka bertahun-tahun tanpa kasih sayang seorang ibu, terutama Yana," pinta Nenek sambil menggenggam jemari Anaya dengan penuh harap.

Anaya tercekat. "I-iya, Nek."

"Terima kasih, Nak. Nenek percaya padamu, kamu adalah anak yang baik. Semoga hidupmu selalu beruntung dan bahagia."

"Sama-sama, Nek," jawab Anaya dengan perasaan bersalah.

Nenek tidak lama berada di sana. Setelah memberikan satu liter beras dan selempang ketan, dia berpamitan karena meninggalkan jemuran gaplek di halaman. Nenek berjanji akan kembali malam nanti untuk menginap dan menemani mereka yang sekarang tanpa Jaka di rumah. Amar yang mengantar Nenek hingga ke depan rumah menenangkannya bahwa semua akan baik-baik saja. 

Sementara itu, Anaya membuat gambar untuk Amar di selembar kertas dan membiarkannya mewarnainya dengan pensil warna. Anaya menggambar seekor ayam, binatang yang ada di sekitar rumah mereka yang dapat dikenali oleh Yana. Anaya juga menulis huruf dan nama ayam, serta mengulanginya beberapa kali sambil membimbing Yana untuk mengikutinya. Selanjutnya, Anaya mengenalkan huruf dan nama-nama benda menggunakan kartu-kartu hingga Yana bosan dan Anaya merasa bahwa Yana sudah cukup berkembang dalam mengenal nama-nama benda.

"Rumah."

"Ru-mah." 

"Ini rumah Yana." Anaya sambil menunjukkan gambar dan menunjuk ke rumah mereka. Yana melihat sekeliling, mengingat-ingat, dan menganggukkan kepala.

"Ru-mah Ya-na?" gumamnya pelan. Anaya tersenyum. Sedangkan Amar hanya menatap tanpa senyum sembari menjahit pakaian sobek Yana. 

***

Thanks. Jangan lupa vote dan komen.

DENDAM NYAI RENGGANISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang