Chapter 2: The Hunter

209 25 6
                                    

" Pertemuan adalah takdir, dan setiap pertemuan selalu membawa kita ke takdir yang lain."

~🦅🐈~

.

.

.

            Mentari bersinar lebih cerah pagi ini. Sepertinya musim panas akan segera tiba. Beberapa sinarnya yang lolos masuk melalui ventilasi jendela menerpa wajah pemuda mungil yang masih bergelung dibalik selimut tebal yang membungkus-
nya. Merasakan hangat disebagian wajahnya membuat Ayan mulai menggeliat pelan, dahinya nampak berkerut.  Tak berapa lama, sepasang bola mata kecokelatan yg indah kini nampak jelas. Ayan mengerjabkan matanya beberapa kali, berusaha untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya. Sesekali Ayan nampak menguap, karena jujur dia masih sangat mengantuk. Terlebih, Ayan belum pernah merasakan tidurnya senyenyak ini. Kasur yang nyaman, bantalnya yang empuk dan selimut tebal yang hangat seakan menahannya untuk segera beranjak dari sana.

            Tapi, tunggu dulu! Sepertinya ada yang aneh.  Seakan menyadari seusatu, Ayan terbangun secara tiba-tiba hingga membuatnya mengerang karena merasakan sakit pada kepalanya. Setelah menunggu pusingnya mereda, Ayan lantas menyibak selimut dan segera turun dari tempat tidur berukuran besar yang jelas bukan miliknya.

          " Dimana ini? Ini bukan kamarku!, " sepasang maniknya terus memeta ke segala penjuru kamar yang didominasi warna abu-abu dan hitam. Sejak kapan kamarnya yang cerah dan ceria berubah jadi suram seperti ini? Dinding ruangan ini pun polos berbeda dengan kamarnya yang penuh dengan poster dari idolanya.

           Ayan mengernyit saat merasakan sedikit nyeri pada lehernya. Dia baru menyadarinya sekarang. Lehernya terasa aneh, dan mengganjal. Tangan lentik miliknya mulai meraba di sekitar lehernya.

           " Leherku, diperban? Akh, shia!  sebenarnya apa yang terjadi semalam. Ayolah, Aye. Kenapa penyakit pikunmu kambuh sekarang, " Ayan ingin menangis saja rasanya. Dalam hati dia terus mengutuk kebiasaan buruknya yang mudah melupakan sesuatu. Karena penasaran, Ayan membuka paksa perban kecil yang berada tepat diperpotongan lehernya. Meski dia harus berakhir meringis karena rasanya cukup pedih.

         Ayan lalu meraih ponselnya yg tergeletak di meja nakas samping tempat tidur. Ia lalu mengaktifkan kamera ponselnya untuk dijadikan cermin. Kedua dua bola mata Ayan seketika membulat saat melihat bekas sayatan tipis berukuran satu setengah senti terukir indah di lehernya. Tangannya terlihat gemetaran saat menyentuh sayatan itu. Tanpa diduga kilasan kejadian semalam terlintas begitu saja di memorinya, hingga membuat tubuh Ayan seketika bergetar dengan degup jantung yang berdetak kencang. Ayan merasa sedikit sesak hingga membuatnya terduduk lemas di tepi tempat tidur. Bukan di lantai ya, soalnya kasian maminya montow nanti sakit pantatnya. Kalau sakitnya karena ***** sih malah senang kitanya, eh! Ok, imajinasinya cukup sampai disini. Kalau diterusin Vee takut khilaf🤭

Silahken dilanjut Aye tremornya

           " A-apa dia yang membawaku ke sini? Apa aku akan dibunuh juga? Shia! Aye belum ingin mati, Tuhan. Aye masih belum membahagiakan Mae Primly. " gumamnya dengan suara yang nyaris seperti bisikan. Kedua matanya bahkan sudah berkaca-kaca.

            Setelah menenangkan diri beberapa saat, Ayan pun  segera mengemasi barang-barangnya. Dia tidak bisa berlama-lama di sana. Siapa yang tahu pria itu bisa kapan saja datang. Terlebih ini adalah tempatnya. Ayan lalu bergegas keluar dari kamar itu.

Klik!

           Ayan menghembuskan nnafas lega saat mendapati pintu tersebut tidak terkunci. Tanpa menunggu lama Ayan segera berlari untuk mencari pintu keluar dari ruangan yang ternyata sebuah apartemen. Saking paniknya Ayan bahkan tidak menyadari jika pakaiannya telah berganti. Langkah kakinya tergesa-gesa saat menuruni tangga. Pria psikopat itu pasti sangat kaya hingga memiliki apartemen dua lantai yang nampak sangat mewah dan berkelas. Jika dibandingkan, luasnya mungkin 3 kali kipat lebih besar dari rumahnya.

KHUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang