Bagian 13 - Bekerja Sama dengan Iblis

5 0 0
                                    

Nugi duduk kaku di tengah ruang tamu dengan cat dinding biru tua itu. Kepalanya menerka-nerka harga furnitur yang ada di sana. Meja kaca yang didominasi warna hitam berlis emas itu sepertinya tidak cukup dibeli dengan gaji Nugi selama sepuluh tahun. Lelaki itu kembali fokus saat orang yang ia tunggu-tunggu sudah datang.

"Bagaimana keadaan Anda? Sudah dua minggu sejak kejadian itu. Anda pasti sangat menderita karena perbuatan Maya."

"Langsung saja, apa yang bisa kamu lakukan untuk menghancurkan Maya?"

Lelaki itu tersenyum tipis. "Saya dekat dengan Maya, dia memercayai saya, jadi terkadang dia menceritakan rencana balas dendamnya pada saya. Saya akan melaporkan semua rencananya pada Anda tanpa membuatnya curiga. Kalau Anda menyuruh saya membunuhnya pun, saya sanggup."

"Kau yakin bisa? Bukankah Maya orang yang licik?"

Nugi tertawa pelan. "Memang, tapi Maya juga punya titik lemah. Dia mudah down karena traumanya. Selain itu, dia juga terlalu percaya diri sampai-sampai kurang berhati-hati. Saya akan berusaha memanfaatkan kelemahannya itu."

Cecil menyilangkan kedua tangannya. Matanya menatap Nugi tajam. "Apa yang terjadi antara kalian sampai kau tega mengkhianati Maya? Apa jaminannya kau tidak akan mengkhianatiku juga?"

"Saya tahu Anda dan keluarga Anda adalah orang yang hebat. Punya keberanian macam apa saya sampai berani mengkhianati Anda? Maya ... dia penipu egois. Dia memanfaatkan perasaan saya, meminjam uang saya, tapi tidak pernah memberikan timbal balik.

"Lalu, timbal balik apa yang kau inginkan dariku?"

"Anda tentu tahu apa yang paling orang sukai. Uang."

Cecil tertawa sinis. Gadis itu menatap Nugi dengan tajam. "Aku butuh jaminan kesetiaanmu."

"Orang yang mengadu domba Magda dan Karin adalah Maya. Dia juga yang memberikan video pertengkaran mereka pada media berita. Maya berniat mengadu domba kalian semua supaya kalian saling menikam." Nugi meletakkan sebuah diska lepas di atas meja. "Di situ ada rekaman saat Magda dan Karin bertengkar. Ada juga percakapan saya dengan Maya yang membahas rencananya."

Tangan Cecil bergerak mengambil diska lepas itu, tapi Nugi kembali menahan dan menarik si benda mungil. Tatapan Cecil semakin tajam. Decakan keluar dari bibirnya.

"Bukannya saya tidak percaya pada Anda, tapi Anda juga harus memberikan saya jaminan, kan?"

Cecil bangun dari duduknya untuk menaiki tangga yang menuju lantai dua. Gadis itu kembali membawa sejumlah uang di tangannya. Ia melempar uang itu ke atas meja. "Segitu cukup, kan? Aku akan memberikannya lagi kalau pekerjaanmu bagus."

Lelaki itu akhirnya melepaskan diska lepas yang ada di tangannya. Senyum Nugi mengembang ketika mengambil beberapa lembaran merah itu. "Tentu saja. Ini sangat cukup. Terima kasih. Apa ada tugas yang harus segera saya lakukan?"

"Cari tahu bagaimana keadaan gadis itu sekarang. Teror dia sampai gila, sebarkan rumor jelek sampai dia dikucilkan, kalau bisa sampai dikeluarkan dari sekolah. Pokoknya, ganggu ke mana pun dia pergi."

"Baiklah. Itu bukan hal sulit. Kalau begitu, saya izin pamit dulu." Nugi sedikit membungkuk sebelum pergi dari sana. Senyum di wajahnya hilang begitu ia dan Cecil tidak lagi bertatapan.

Cecil memainkan diska lepas yang ia pegang. "Orang miskin memang mudah dibeli."

....

"Selamat sore, Pak. Saya Maya. Ingat saya, kan? Monica ada di dalam?" Maya bertanya dengan ramah pada satpam yang menjaga rumah Monica.

"Oh iya, Neng. Mau saya antar ke dalam?" Satpam itu bertanya dengan nada khawatir karena melihat kondisi tubuh Maya yang diperban.

"Ah, tidak perlu. Saya masuk ya, Pak. Mari."

Rumah itu tidak banyak berubah sejak terakhir kali Maya main ke sana. Halaman yang luas. Air mancur besar. Taman bunga yang indah. Gadis itu melenggang masuk lewat pintu depan yang sudah terbuka. Pelayan mempersilakan ia untuk duduk, sementara pelayan itu memanggilkan Monica.

"Mau apa kau kemari? Memangnya uang yang aku transfer tidak cukup sampai harus mendatangiku juga? Atau kartu ATM-mu rusak lagi?" sindir Monica.

"Kau rapi sekali. Mau pergi ke luar?"

"Jangan alihkan pembicaraan, Sialan."

"Aku tinggal di sini ya sampai menemukan rumah kontrakan yang cocok?"

"Kau sudah gila, ya?!"

Maya mengusap kupingnya. "Kenapa sih kau teriak-teriak terus? Cuma sebentar, kok. Ayah dan ibumu jarang di rumah, kau anak tunggal, sayang kan kalau rumah sebesar ini hanya ditempati olehmu?"

Monica mengusak rambutnya frustrasi. "Bocah gila," gumamnya.

"Jangan khawatir. Aku akan bersikap seolah tidak ada di rumah ini. Toh, ini bukan pertama kalinya aku menginap di rumahmu."

"Terserah, lah! Habis waktuku meladenimu." Monica segera pergi dari sana menuju pintu keluar.

"Yeey! Terima kasih, Monica!" Gadis itu melambaikan tangannya dengan riang meski Monica sama sekali tidak menggubrisnya.

....

Melalui jendela bus, Maya dapat melihat para pengendara yang rela bermacet-macetan untuk sampai di rumah masing-masing. Untunglah bus itu berjalan lancar karena berada di jalur sendiri. Namun, kelancaran itu tidak berjalan lama karena di depan bus yang Maya tumpangi ada beberapa pengemudi masuk jalur bus untuk menghindari macet. Maya tidak mengerti pada pemikiran orang-orang itu. Padahal, dengan banyaknya orang yang melanggar seperti itu, jalur khusus bus juga akan sama macetnya. Ujung-ujungnya, terjebak macet juga. Gadis itu dapat mendengar desihan berat napas penumpang lain.

Gadis itu akhirnya sampai di tempat tujuannya. Ia langsung menuju toko ponsel untuk membeli pengganti ponselnya yang hangus terbakar. Ada banyak ponsel yang ditawarkan oleh si penjual, tapi dia sudah mantap membeli sebuah ponsel bekas yang kondisinya masih bagus. Walaupun uang di rekeningnya ditambah uang sumbangan dari tetangganya masih ada, tapi ia tidak berani menghambur-hamburkan uangnya selama masalahnya dengan Cecil belum selesai.

Maya membayar ponsel itu menggunakan kartu debit yang diurus Monica. Ia lumayan berterima kasih pada Monica karena gadis itu cukup banyak membantunya. Di mana lagi ia bisa tinggal dengan aman sampai urusan Cecil selesai selain di rumah gadis itu? Maya terkekeh menyadari apa yang ia pikirkan. Tidak pernah dalam hidupnya ia berpikir akan merasa berterima kasih pada Monica.

Gadis itu mendudukkan dirinya di atas toilet duduk yang ada di mal tersebut. Di dalam bilik, ia memikirkan apa lagi yang harus ia beli mumpung di luar. Seragam? Sudah dapat dari kebaikan hati tetangganya. Yah, paling tinggal baju batik. Agak sayang sih karena tahun ini merupakan tahun terakhirnya di SMA. Sepatu? Sudah diberi sepatu bekas juga oleh tetangganya meski agak kesempitan. Baju pergi dan baju santai? Maya menggelengkan kepalanya. Barang seperti itu bisa dibeli di pasar. Kalau di tempat seperti ini harganya pasti lebih mahal.

"Aku tidak mau...."

"Ayolah."

Maya menajamkan pendengarannya ketika mendengar ada bisik-bisik dari bilik toilet di sebelahnya. Pasalnya, ia mendengar suara laki-laki juga. Untuk apa laki-laki ada di kamar mandi perempuan?

"Setidaknya jangan di sini, ya?"

"Aku mau coba di sini."

"Jangan gila, Kak! Kalau ketahuan bagaimana?"

"Kamu tidak lupa kan kalau aku masih punya video itu? Lakukan di sini atau videomu tersebar."

"Kakak!"

"Kecilkan suaramu. Katanya tidak mau ketahuan."

Mata Maya membelalak ketika menyadari suara si perempuan mirip dengan suara orang yang ia kenal. 

The Fall of the PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang