Bagian 5 - Ketahuan?

16 2 7
                                    

Maya terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. Melihat nama orang yang merundungnya membuat gadis itu jadi sering memimpikan peristiwa mengerikan di masa lalu.

Hanya dengan mengingatnya saja, tubuhnya bergetar, napasnya sesak, dan perutnya terasa mual. Bekas luka yang sudah mengering itu kembali terasa sakit.

Gadis itu mendapat titik terang setelah melihat chat antara Regina dengan Cecil. Di dalam chat itu, Cecil bertanya apakah Regina mengenal Maya atau tidak. Cecil juga terus bertanya tentang kehidupan Maya sekarang pada Regina.

Ia yakin Cecil adalah orang yang menyebarkan video itu karena hanya dia yang mengetahui tentang kehidupan asli Maya. Dia pasti tidak senang mainannya dulu kini hidup bahagia.

Maya meremas seprainya. Gadis itu kini sadar kalau ia tidak akan hidup tenang sebelum iblis bernama Cecil itu lenyap.

....

Nugi menggaruk kepalanya yang berasap karena tugas matematika. Terlalu sering dispensasi membuatnya ketinggalan pelajaran. Walaupun sudah meminjam catatan Ian, ia tetap kesulitan memahami pelajaran satu itu. Sejak dulu, Nugi memang bermusuhan dengan matematika. Tidak ketinggalan saja Nugi tidak paham, apalagi ketinggalan seperti sekarang.

Mata lelaki itu melirik ke arah jam dinding. Lima belas menit lagi bel masuk berbunyi. Padahal, ia sengaja datang pagi-pagi dengan harapan ada ilham yang masuk ke otaknya jika mengerjakan PR pagi hari di sekolah, tapi sepertinya ia akan menyontek jawaban dari internet lagi.

"Sedang mengerjakan apa, Nugi? PR hari ini hanya matematika, kan?" Maya yang baru datang mendekat penasaran. Gadis itu takut ada PR yang lupa ia kerjakan.

"Iya, cuma matematika. Kamu sudah mengerjakan?"

"Sudah, dong. Materi kali ini lumayan mudah ternyata." Maya berkata dengan ceria. Hal lain yang ia syukuri dari terbongkar kebohongannya adalah ia tidak perlu lagi pura-pura bodoh hanya untuk disukai Regina.

Nugi yang mendengar itu hanya mengerjap, memastikan ia tidak salah dengar. Ia jadi mulai mempertanyakan, apa sebenarnya matematika itu memang mudah, tapi dia saja yang bodoh?

"Kalau tidak keberatan, apa kamu mau mengajariku? Aku agak kesulitan memahaminya."

"Boleh. Bagian mana yang tidak kamu pahami?" Maya duduk di kursi Nugi setelah lelaki itu bergeser ke kursi sampingnya.

"Aku tidak paham dari mana asalnya angka ini."

Maya menjelaskan dengan perlahan pada Nugi. Sesekali ia bertanya pada lelaki itu apa penjelasannya mudah dipahami. Nugi merasa sangat bersyukur karena Maya mau mengajarinya dengan sabar. Akhirnya tugas Nugi selesai tepat saat bel masuk berbunyi.

Ia meluruskan tangannya yang pegal karena menulis. Senyum cerah menghiasi wajahnya. "Akhirnya. Terima kasih banyak, ya. Aku jadi lumayan paham."

Maya ikut senang melihat ekspresi Nugi yang jarang ditampilkan itu. "Kalau ternyata salah, jangan salahkan aku, yaa."

"Tidak akan. Diajarkan saja aku sudah berterima kasih. Kamu harus membuka les dengan kemampuanmu ini."

"Dulu pernah, kok. Tapi sekarang sudah tidak karena satu dan lain hal. Ah, muridku masih ada satu orang lagi, sih."

"Benarkah? Sayang sekali karena tidak dilanjutkan. Eh, orang itu dapat keistimewaan?"

Maya tertawa pelan. "Les dengan orang itu juga dimulai dengan cara tidak sengaja. Aku tidak sengaja menghitung jumlah kalori yang masuk ke tubuhku hari itu tanpa kalkulator di depannya, lalu dia diam-diam memintaku mengajarinya matematika. Aku juga heran kenapa ia pikir aku pintar matematika hanya karena itu. Yah, tapi bayarannya lumayan, sih."

"Tapi, kenyataannya memang pintar, kan?"

Tanpa Maya sadari, pipinya memerah karena ucapan Nugi. Pujian Nugi terdengar tulus. Sesuatu yang sudah lama tidak ia dengar.

....

"Maya!"

Maya tersentak saat seseorang menarik tangannya untuk membawanya ke belakang sekolah ketika ia sedang menikmati waktu istirahat dengan tidur siang. Sosok itu membanting Maya ke dinding, lalu mengungkungnya.

"Bajingan, aku sudah tahu kalau kau yang mengirim pesan ancaman itu. Berengsek! Dari mana kau mendapatkannya?"

Maya menutup mulutnya karena terkejut. Matanya terlihat berkaca-kaca. "Astaga.... Bagaimana kamu bisa tahu?"

"Bodoh. Kau pikir hanya kau yang punya otak di sini? Mencari alamat IP itu mudah asal kau punya uang." Monica berkata dengan senyum sinis di wajahnya.

Mendengar itu, Maya berlutut pada Monica. "Maaf, aku mohon maafkan aku, Monica." Suara isakan terdengar dari dirinya sampai tiba-tiba suara itu berubah menjadi tawa.

"Apa kamu jadi gila karena sudah ketahuan?" tanya Monica dengan pandangan bingung dan takut.

Maya bangkit sambil menyibak rambutnya. "Yah, lalu sekarang kamu mau apa? Siapa pun yang mengirim pesan itu tidak penting, kan? Nyatanya, kau melakukan aborsi."

Monica menghentak tubuh Maya dengan kesal. "Bajingan. Kita lihat saja, apa kau masih bisa bicara sok begini setelah aku ungkapkan ulahmu ke Regina dan anak-anak satu sekolah?"

Maya mengelus lembut pipi Monica, yang langsung ditangkis oleh gadis itu. "Ungkapkan saja. Aku juga ingin tahu apa reaksi anak-anak setelah tahu kau hampir menjadi seorang ibu." Maya menekan-nekan bahu Monica dengan telunjuknya sampai membuat Monica terus terdorong dan menabrak meja di belakangnya. "Monica, aku sudah tidak punya apa-apa sekarang. Kalaupun kamu mengungkapkannya ke orang-orang, aku tidak akan kehilangan apa-apa. Tapi, kau masih punya segalanya. Kira-kira siapa yang akan kehilangan lebih banyak?"

"Heh, penipu! Kau kira orang-orang masih akan percaya padamu? Surat seperti itu bisa dipalsukan. Aku bisa pindah ke luar negeri kalau hal itu terbongkar."

"Benarkah? Lalu, kenapa kau setakut itu sampai nekat mencuri ponsel Regina? Karena kamu sangat mencintai ayah dari anakmu sampai tidak rela meninggalkannya, kan? Kalau ayahmu tahu soal hal ini, kira-kira apa yang akan ia lakukan?"

Monica tidak mengatakan apa pun. Akan tetapi, mata melotot dan tubuh bergetarnya sudah menjawab pertanyaan Maya.

Maya merapikan seragam Monica dengan senyum tenang. "Tetaplah jadi anak baik dan turuti saja perintahku, Monica yang manis. Dengan begitu, kamu bisa lari bersama kekasihmu setelah lulus dan hidup bahagia." Gadis itu melenggang meninggalkan Monica yang mematung.

The Fall of the PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang