Bagian 15 - Pengkhianat Harus Dihukum

8 0 0
                                    

Maya benar-benar tidur nyenyak. Ia bahkan tidak ingat kapan ia mulai tertidur. Saat ia bangun, matanya menangkap Nugi yang sedang tertidur pulas. Lelaki itu tidur di bawah dengan kepala yang menempel di ranjang, sementara Maya tidur dengan nyaman di ranjang yang sepertinya milik lelaki itu. Gadis itu mencoba mengingat-ingat kejadian semalam.

Pegangan Maya di pinggang Nugi mulai mengendur disebabkan rasa kantuk. Nugi yang menyadari itu memegang erat kedua tangan Maya yang ada di pinggangnya dengan sebelah tangan supaya gadis itu tidak terjatuh.

"Boleh tidak kalau aku menginap di rumah Nugi?" Mata Maya semakin berat karena semilir angin malam yang menyapu wajahnya.

"Eh? Apa itu bisa membantumu tidur nyenyak?"

"Tidak tahu. Kalau aku nyaman, mungkin aku bisa tidur nyenyak." Gadis itu merebahkan kepalanya di punggung Nugi.

Setelah itu, Maya benar-benar tertidur. Nugi khawatir gadis itu jatuh, tapi untungnya mereka bisa sampai di rumahnya dengan selamat. Nugi membaringkan tubuh Maya di ranjangnya. Ia menatap wajah itu selama beberapa saat sampai akhirnya ikut terlelap.

Begitu ingat tingkahnya semalam, Maya langsung merasa tidak enak. Sepertinya Nugi benar-benar menganggap serius ucapan ngaco gadis itu. Maya mengusap lembut kepala lelaki itu, membuat Nugi terbangun.

"Selamat pagi. Tidurmu nyenyak?" ucap Nugi dengan senyum manis meski matanya masih setengah terpejam.

"...Nyenyak." Gadis itu menggaruk tengkuknya karena merasa tidak enak tidur nyenyaknya mengorbankan kenyamanan Nugi. Tidur dengan posisi Nugi tadi dalam waktu lama pasti membuat leher lelaki itu pegal, tapi bisa-bisanya ia masih menjawab Maya dengan senyuman. "Kenapa tidur di bawah?"

"Masa aku tidur di atas bersama Maya? Tidak sopan, dong. Lagi pula, ranjangnya tidak muat. Maaf ya ranjangku sempit. Sebenarnya, ranjang di kamar mendiang orang tuaku lebih luas, tapi kamar itu jarang dibersihkan."

"Harusnya aku yang minta maaf karena merepotkanmu. Aku suka bicara sembarangan kalau sedang mengantuk, mestinya tidak usah kamu turuti."

"Tidak apa-apa, yang penting kan Maya bisa tidur nyenyak."

Ah, cowok ini. Maya melihat ke jam dinding di atas pintu. "Duh, sepertinya kita terlambat."

Nugi ikut melongok ke arah jam dinding itu, lalu tertawa. "Sekali-kali bolos tidak apa-apa, kan? Kamu juga tidak bawa baju seragam."

Maya menyentil pelan dahi lelaki itu. "Dasar. Sudah kelas 12 masa mau bolos? Tapi, aku juga malas sih hari ini ada pelajaran seni musik."

"Anak pintar bisa malas juga, ya?"

"Kamu sendiri yang menganggapku pintar. Bagaimanapun, aku ini hanya remaja biasa."

"Kamu bisa di sini sampai sore."

"Mana bisa. Aku kan harus mandi. Nanti sore aku ada jadwal mengajar muridku yang satu itu. Lagian memangnya kamu tidak ada latihan?"

"Ah iya, aku lupa cerita. Besok aku lomba lagi, May. Cuma tingkat sekolah sih, tapi tidak bisa dianggap remeh. Nanti kalau aku menang, aku mewakili sekolah ke tahap kota, setelah itu mewakili kota di tahap provinsi, kalau menang lagi baru deh mewakili provinsi di tahap nasional. Doakan aku menang, ya. Aku rasa ... lomba ini akan menjadi penentu."

"Penentu?"

"Iya. Kalau aku gagal sampai tahap nasional, sepertinya aku benar-benar akan meninggalkan karate." Nada suara Nugi berubah menjadi sendu.

"Kamu serius? Lalu, apa rencanamu setelah meninggalkan karate?"

"Apa, ya? Mungkin kerja atau cari beasiswa untuk kuliah. Meski sepertinya agak sulit juga karena aku tidak terlalu pintar akademis." Lelaki itu tertawa getir.

The Fall of the PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang