Bagian 7 - Jembatan Penyeberangan

10 1 0
                                    

Karin menutup teleponnya dengan kesal karena Cecil menolak ajakannya pergi main. Padahal, ia ingin sekalian membicarakan perihal Maya tadi.

Gadis itu menggigit bibirnya mengingat perkataan Maya. Karin juga merasa perlakuan Cecil padanya berubah sejak ibu Magda menikahi ayahnya.

"Persetanlah. Aku juga bisa pergi sendiri. Pak, mampir ke mal dulu, ya." Karin kembali menyandarkan kepalanya ke jok mobil yang empuk.

Perjalanan ke mal cukup lama karena jalanan yang macet. Suasana hati Karin membaik saat melihat barang-barang bagus di sana. Dengan lincah kakinya menjelajahi toko-toko di mal itu dengan tangan yang membawa tentengan setiap keluar dari sana. Setelah puas berbelanja, ia memutuskan pergi ke sebuah kedai donat dan kopi karena lapar.

Saat kakinya melangkah masuk ke kedai itu, ia melihat orang-orang yang ia kenali sedang tertawa-tawa di sana. Darahnya serasa naik sampai kepala. Cengkeraman pada kantung belanjanya semakin erat. Cecil dan Magda pergi tanpa mengajaknya.

....

Nugi memandangi orang yang lalu-lalang dari jembatan penyeberangan, tidak memedulikan nyamuk yang menggigiti kulitnya. Ia membayangkan bagaimana kalau saat ini ia melompat dari jembatan itu. Untuk apa dia repot-repot memikirkan masa depan yang masih penuh tanda tanya. Toh, tidak ada yang akan bersedih kalau dia mati. Kematiannya pasti akan segera dilupakan.

"Kamu mau melompat?"

Nugi menoleh terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia mendapati Maya berjalan menghampirinya. Matanya mengikuti gerakan gadis itu yang kini sudah berada di sampingnya.

"Tidak boleh. Tempat ini milikku. Kalau mau lompat, cari tempat lain saja."

"Kamu sering ke sini?"

"Dulu, waktu SMP, aku mengalami perundungan yang bisa dibilang parah. Bekas lukanya bahkan masih ada sampai sekarang. Saat itu, bagiku setiap harinya seperti neraka. Aku masuk sekolah dengan pikiran 'siksaan apa lagi yang akan aku dapatkan hari ini?'. Lalu, setiap pulang sekolah, aku berdiam dulu di jembatan ini. Melihat orang-orang yang lewat, mencari alasan untuk melanjutkan hidup, kadang aku membayangkan lompat dari sini. Pernah suatu ketika, aku hendak nekat melompat. Tapi sayangnya, seorang wanita tua keburu menahanku. Alhasil, percobaan bunuh diriku gagal." Gadis itu terkekeh menyelesaikan kalimatnya.

"Maaf. Seharusnya aku tidak bertanya."

"Tidak apa-apa. Aku yang mau cerita, kok. Hari ini kamu lomba, ya? Bagaimana tadi lombanya?"

"Hasilnya tidak baik. Abi pasti tertawa senang mengetahui aku gagal, yah meskipun dia sendiri tidak ikut lomba karena sakit perut."

Maya sedikit tersentak mendengar nama Abi. Gadis itu berdeham. "Terkadang hasil memang bisa mengkhianati usaha. Meskipun kamu berusaha keras, hasilnya belum tentu sesuai harapan. Lihat saja aku, sudah berusaha menutupi kemiskinanku, ujungnya ketahuan juga."

"Tapi aku kagum padamu, May. Kamu orang yang sangat kuat. Tidak terbayang hal buruk apa yang kamu alami sampai rela mengambil jalan itu."

"Itu karena aku selalu gagal bunuh diri, jadinya rela melakukan apa pun daripada terjebak di neraka itu lagi. Tapi, sekarang keinginanku untuk hidup semakin meningkat. Aku tidak akan mati sebelum para bajingan itu mendapat hukuman."

"Kamu mau menghukum mereka?"

"Rahasia." Gadis itu berkata dengan nada main-main.

"Boleh aku membantumu?"

"Kenapa? Dan kenapa kamu tetap baik padaku setelah tahu kalau aku berbohong?"

Nugi menatap gadis itu. Ia terkejut melihat memar yang ada di pipi Maya. Hampir saja lengannya terulur untuk menyentuh pipi gadis itu. "Alasannya kurang lebih sama seperti alasanmu peduli padaku. Aku merasa kita senasib. Selain itu, aku tahu kamu orang yang baik, Maya. Kamu selalu berusaha menolong orang lain dengan caramu sendiri. Aku lihat saat kamu diam-diam membantu anak yang dirundung. Kamu juga sudah banyak membantuku meski hubungan kita tidak terlalu dekat. Jadi, aku ingin orang-orang yang membuat anak baik seperti Maya terpaksa berbohong mendapat hukuman."

"Kalau kamu bicara seperti itu, orang-orang bisa mengira kalau aku ini orang yang sangat baik."

Nugi menanggapinya dengan tawa pelan. "Kan memang. Kamu tidak ingin pulang? Di sini semakin banyak nyamuk."

"Kamu mau mengantarku lagi? Omong-omong, di mana sepedamu?"

"Aku titipkan di warung bawah. Ayo, aku antar."

"Dasar. Nanti hilang, loh. Tidak usah. Kan hari ini kamu tidak berutang apa-apa padaku."

"Kata siapa? Kalau kamu tidak menyapaku tadi, mungkin aku benar-benar akan lompat."

Maya berjalan mendahului Nugi. "Kalau ada yang melihat kita sering pulang bersama, nanti kita dikira pacaran."

Nugi hanya tertawa mendengar perkataan Maya. Lelaki itu berjalan cepat untuk menyusul gadis di depannya.

....

"Aku juga pernah dirundung May waktu kecil. Waktu masih di sekolah dasar, aku betul-betul seperti anak tidak terurus, jarang mengerjakan PR, nilai ulangan jelek, ditambah lagi dulu aku cengeng, makin-makinlah mereka merundungku. Ibuku meninggal saat aku berusia 4 tahun, ayahku sibuk kerja, keluarga tidak ada yang mau mengurus, jadi yaa...."

"Karena itu kah kamu belajar karate?"

"Betul. Saat kelas 5 akhirnya aku mengadu kalau dirundung. Lalu, ayahku memasukkanku ke perguruan karate supaya bisa bela diri. Aku tidak bermaksud adu nasib, aku cuma mau cerita karena kamu sudah cerita soal masa lalumu. Maksudku, meski mungkin tidak seberat kamu, aku paham kalau perundungan memang membawa dampak traumatis. Sekarang saja walau sudah bisa bela diri, aku tidak pernah datang ke reuni SD."

"Begitu, ya. Para perundung itu memang menyebalkan. Mereka selalu mencari alasan untuk membenarkan perbuatan mereka. Aku ditindas karena menurut dia aku cantik. Padahal, aku juga tidak tahu di mana letak kecantikanku dulu."

Helaan napas Nugi terdengar oleh Maya. "Memang mereka itu monster. Kok bisa ya mereka menyakiti orang lain semudah itu?"

"Rata-rata sih karena mereka tahu kalau mereka tidak akan dihukum atas kesalahan mereka. Perundungku dulu itu orang-orang kaya. Anak pejabat, anak pengusaha, dan anak artis. Entah sudah berapa banyak kejahatan yang ditutupi oleh orang tua mereka."

"Mengerikan. Pasti berat melawan orang seperti mereka. Aku benar-benar salut padamu, May. Kamu hebat bisa bertahan sampai sekarang."

Di tengah hiruk pikuk kota itu, di bawah langit yang gelap, di atas aspal yang dingin, Maya kembali merasakan kehangatan yang menurutnya tidak seharusnya ia rasakan sekarang. 

The Fall of the PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang