Maya membanting pintu toiletnya kasar dengan tujuan membuat orang di bilik sebelah kaget. "Aduh! Tahu tempat, dong! Yang benar saja, masa begituan di toilet umum? Tidak punya rumah?!" Maya berteriak-teriak di depan bilik toilet itu. "Ayo, cepat keluar! Masa berani melakukan itu di tempat umum, tidak berani menunjukkan wajah? Cepat keluar sebelum ada orang lain yang masuk toilet ini."
Seperti yang ia duga, ia mengenal pasangan itu. Monica dan Bara-atau harus ia panggil Pak Bara karena lelaki itu adalah guru muda di sekolah mereka.
"Ternyata benar kau." Monica berkata sinis, tapi Maya dapat melihat perasaan lega dari mata berkaca-kaca milik gadis itu.
Maya mendesah ketika menatap dua orang itu bergantian. Tangannya terlipat di depan dadanya. "Apa kalian berniat masuk di halaman utama koran sebagai pasangan mesum? Aku yakin kalian punya cukup banyak uang untuk menyewa hotel."
Bara menatap tajam pada Maya karena gadis itu menggagalkan upayanya menyalurkan nafsu. Kepalan tangannya mengencang karena menahan emosi. Ia lalu menarik lengan Monica untuk pergi dari sana.
"Eh, kalian mau ke mana? Aku ikut, dong! Aku punya rekaman suara kalian tadi, loh. Mau dengar?"
Bara hendak menghampiri Maya dengan wajah memerah. Akan tetapi, Monica menahan lelaki itu. "Sudahlah, biarkan saja dia ikut kita. Hitung-hitung membantu orang miskin. Kasihan, dia sampai harus memanfaatkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya."
Wah, sialan. Apa harusnya tidak usah aku bantu?
....
Monica terduduk lemas di sofa rumahnya segera setelah mereka memasuki rumah bergaya modern klasik itu. Kantung belanjaan yang ia bawa teronggok di bawah seolah tidak berharga. Maya yang asyik menyeruput soda dingin menatapnya dari sofa seberang.
"Apa kau butuh kata-kata penghibur?"
"Diam."
"Oke." Gadis itu kembali fokus pada sodanya. "Yah, habis."
Monica menegakkan duduknya. Matanya menatap Maya serius. "Kau senang ya punya bahan lain untuk mengancamku sekarang?"
Maya mengocok gelas sodanya. Berusaha membuat es batu di dalamnya cair sehingga dapat ia sedot lagi. "Bahan lain apa? Tidak, tuh."
"Kau bilang kau merekam...." Monica berdeham sambil menatap ke arah lain. Ia tidak sanggup menyelesaikan ucapannya.
"Kamu percaya? Memangnya kamu pikir aku sempat merekam saat sedang terkejut?"
Monica menatap Maya dengan mata memicing. "Jadi, kau bohong?"
"Iya. Aku bohong untuk membantumu. Tidak suka, ya?"
Monica mengembuskan napas lega sambil menjatuhkan diri berbaring di sofa putih itu. "Sialan. Dasar penipu."
"Lalu, selanjutnya apa? Kamu masih mau mempertahankan hubungan dengan orang itu?"
"Aku ... tidak tahu."
"Tidak tahu?"
"Dia suka mengancam bunuh diri kalau kami bertengkar, bilang tidak bisa hidup tanpaku, aku jadi takut, bagaimana kalau dia benar-benar melakukannya?"
"Tapi, perasaanmu bagaimana? Hubungan yang membuat kita tidak nyaman itu tidak baik."
"Bagaimana kalau setelah aku memutusinya, ternyata aku tidak bisa melupakannya? Dan ketika aku mengajaknya kembali, ia sudah tidak mau?"
Maya mengembus napas prihatin. Beginilah pada akhirnya orang-orang terjebak hubungan toxic. "Aku tidak peduli kamu mau mendengarkan atau tidak, tapi saranku, kalau memang hubungan itu sudah membuatmu sakit, tidak nyaman, stres, lebih baik ditinggalkan. Apalagi dia sudah mengancam-ancam begitu, itu artinya dia tidak menghargai keputusanmu. Hubungan yang seperti itu untuk apa dipertahankan? Kamu mau seumur hidup terjebak dengan orang seperti itu? Bagaimana kalau ternyata kamu lebih bahagia tanpa dirinya, tapi kamu tidak pernah tahu karena tidak mencoba?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fall of the Princess
Mystery / ThrillerKehidupan Maya yang tenang tiba-tiba terusik saat video yang berisi kebenaran tentang dirinya tersebar. Merasa tidak terima, ia berusaha mencari tahu siapa orang yang menyebarkan video tersebut. Siapa sangka pencarian si penyebar video akan berbuntu...