Perasaan

6 3 0
                                    

Matahari sudah turun dari singgasana kekuasannya. jam telah menunjukkan pukul 8 malam.

Ais masih senyum-senyum sembari memandangi nomer yang baru saja disimpan dalam kontaknya.

Dirinya masih belum berani untuk menghubungi nomer tersebut.

"Ah palingan anak-anak sudah menghubungi ustadz duluan deh," ucapnya sambil mengangguk ke kanan dan ke kiri.

Ais begitu skeptis untuk menghubungi Alvan. Dirinya benar-benar tidak percaya diri, terlebih lagi dia sadar kalo menurutnya, Alvan pasti lebih suka kayak cewek sekelas Reva yang cantik, aktif, dan juga pintar.

"Reva beneran suka ama ustadz alvan tidak sih, kok aku penasaran"

Sesekali Ais kembali memandangi ponsel pintarnya tersebut.

Drrrttt

Panggilan... (Mama)

"Eh mama telpon," ucap Ais kaget dan langsung mengangkatnya.

"Iya ma, halo?"

"Lagi ngapain kamu?" mama bertanya  dengan nada tinggi seperti sedang marah.

Ais yang kaget dengan bentakan mamanya spontan saja menjawab, "mau tidur ini ma"

"Kata om reza sama tante fani kau main hape aja dari pagi. Cuma berhenti di jam sekolah! Mau jadi apa kau?"

Kening Ais mengkerut tidak paham dengan maksud mama. Karena tadi pagi dirinya mengepel, mencuci, serta menyapu sampai selesai seperti biasa.

"Kenapa kau diam?" tanya mama, suaranya masih belum rendah sama sekali.

Kelopak mata Ais mulai terkulai, air matanya perlahan menetes.

"Jawab mama is!"

"Iya ma, tapi ais-"

Belum selesai bicara ucapan Ais kembali dipotong, "tapi apa? Kau di sana bisa balas budi gak sih?"

Bentakan tersebut membuat Ais menangis sesenggukan.

"Giliran dibilangin nangis! Kalo di rumah butuh bantuan, ya dibantu!"

"Iya ma," jawab Ais masih berusaha menanggapi ucapan mama.

"Iya-iya mulu kau! Ngapain nangis? Diem!"

Ais mencoba untuk mengatur nafas supaya tidak terlalu jelas suara tangisannya.

"Mama sudah makan?" tanya Ais mencoba memecah puncak amarah dari mama, tubuhnya bergetar.

"Gak usah ngalihin topik! Mama gak mau denger lagi kau gak bener di rumah, awas aja kau!"

"Iya ma,"

"Iya-iya mulu! Udah belajar sono!"

Tuuuuuttt...

Ais hanya memandang nomer yang bertuliskan mama. Hatinya tergores begitu dalam, tidak ada tempat untuk dirinya benar-benar bersandar.

Reza yang menguping dari tadi kemudian mengetok pintu.

"Is, keluar dulu!" perintah Reza

"Om reza?" gumam Ais mengusap air matanya. Ais sudah mulai merasa tidak enak, tapi tetap saja dirinya membukakan pintu.

"Iya om?" tanya Ais mencoba tenang di hadapan cowok yang lumayan kekar tersebut.

"Lu cuci mangkok gih! Tadi om ama tante habis makan ramen, males nyuci."

"Punyaku ada jatah om?" tanya Ais setengah berharap

"Dih, apa lu?"

"Kan siapa tau ada om" jawab Ais hendak berjalan ke dapur. Niat hati mau becanda ternyata dianggap beda.

ALANDZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang