|| 11

111 7 0
                                    

Pov Kong Jiro.

Sekitar setengah jam setelah aku pergi membasuh tubuhku. Aku mengganti kaus hijau lusuh yang kupakai untuk tidur. Aku memandangi punggung kurus seseorang yang merunduk dengan tangan kanan membuat coretan di atas kertas. Kakiku melangkah pelan mengambil posisi duduk tepat di sebelahnya, kami hanya berkutik dengan pekerjaan masing-masing.

Sahabatku selalu memprioritaskan tentang semua pelajarannya, meskipun dia sedari tadi sibuk dengan buku, Namping tidak merasa terganggu dengan sikapku yang tiba-tiba menjadi diam. Mungkin tidak ada yang aneh bagi laki-laki berpipi bulat itu, namun berbeda dari sisi pandangku. Aku merasa tidak nyaman karena telah berprilaku buruk kepadanya. Jariku menulis aksara-aksara Thailand asal, berusaha menyibukkan diri agar tidak terlihat terlalu canggung.

Matahari mulai menyingsing, semburat orange bercampur ungu menampakkan warna lembayung yang indah menggantung di langit sore. Sepoi angin ringan sedikit masuk dari celah jendela kamar karena orang yang sedang fokus belajar sengaja membukanya. Aku menolehkan kepala membiarkan sebelah tanganku menopang dagu untuk memandangi pria kurus berkulit putih dengan wajah serius, melihat pada kamus bahasa Inggris dan materinya.

Kenapa akhir-akhir ini Aku selalu berpikir ingin memiliki seseorang? Seseorang yang ternyata menyukai sahabatku sendiri.

Namping, jika Aku memintamu untuk menjauh dari Thomas apakah Aku terlalu egois?. Kenapa dari sekian banyak orang yang dipilih harus kau? Dan yang lebih menyakitkan mengapa kau tidak pernah mengatakan bahwa kau menyukainya?. Pikiranku terlalu suntuk dipenuhi sosok tinggi tampan yang siang tadi sempat mengobati pipi kiri yang merah akibat tamparan senior perempuanku.

Sejauh ini hanya dengan Namping Aku mau berbagi segala hal di hidupku. Aku tidak tau meskipun temanku sangat banyak tapi Aku selalu memilih Dia sebagai rumahku. Bisa dikatakan aku sangat membutuhkan dia, kapanpun dimana pun. Aku menyayanginya lebih dari seorang teman, kami seperti saudara. Mungkin orang-orang sangat bosan jika melihat kami bermain bersama itu mungkin karena Namping anak yang cukup pendiam dan tidak terlalu asyik saat pertama kali melihatnya. Banyak temanku mengatakan hal yang serupa, mendorong ku agar tidak lagi berteman dengannya.

Dua bulan setelah aku menetap di asrama kecil yang kami tempati, aku ingin memutuskan pindah ke sebuah apartemen. Saat pertama kali orang tua ku mengirimku disini tidak ada pilihan lain, aku hanya kebagian asrama kecil yang letaknya tidak jauh dari kampus. Ibu dan ayah memberiku dua pilihan bahwa untuk sementara waktu aku harus memilih untuk tinggal disini atau pulang ke rumah. Sejujurnya aku tidak suka pulang, kalian pasti paham kebanyakan orang tua selalu memiliki banyak kekangan untuk anak-anak nya, sialnya orang tua ku salah satu dari mereka. Aku hanya ingin kebebasan menjadi seorang remaja mahasiswa seperti jalan-jalan dan pergi bermain atau yang lainnya.

Nyonya yang memberikan kunci asrama mengatakan bahwa kamarnya ditinggali 2 orang. Satu diriku dan satunya lagi mahasiswa tahun pertama. Saat itu Aku benar-benar sangat senang menyadari teman sekamarku seumuran denganku, mungkin kita akan lebih mudah akrab dan berbagi banyak cerita.

Seperti yang dikatakan tuan pemilik asrama, ini benar-benar kamar yang kecil untuk kapasitas dua orang. Disini tidak ada AC,cukup kipas berukuran sedang yang berputar di langit-langit kamar. Hanya ada satu ranjang yang ukurannya lumayan,hampir sama dengan milikku dirumah yang hanya ku tempati seorang. Itu berarti satu kasur berdua!. Ini benar-benar hal gila yang pernah ku alami.

Dan bayanganku bertemu dengan seorang teman tidak berjalan seperti yang ku bayangkan, karena teman sekamar yang ku ajak berkenalan sangat pendiam. Dia susah diajak bicara karena sorot matanya terus bergerak tidak nyaman saat kita melakukan kontak mata.

Aku sangat ingat waktu pertama kali dia masuk kamar. Namping mengenakan sebuah kaus coklat polos berlengan panjang dan celana jeans. Dia datang sendiri dengan tas besarnya tanpa ditemani orang tua seperti ku. Itu adalah kesan pertama yang membuatku terkesan, dia mandiri meskipun bukan asli Bangkok. Anak itu tersenyum sungkan melakukan sebuah penghormatan kepada kami, entah mengapa justru orang tua ku tertarik kepadanya. Di tengah kesibukanku berbicara dengan ayah yang mengurus barang-barang ku, ibu dan Namping duduk di sebelah jendela sambil berbagi cerita. Mungkin bukan terlihat akrab seperti yang dibayangkan namun pembawaannya cukup membuat ibu ku tersenyum lebar. Ibu bilang, bahwa kita harus menjadi teman yang baik dan saling mengingatkan.

LOVE LANGUAGE - [KengNamping]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang