Rencana

14 4 1
                                    

"Gimana, Bin?" Seorang pria tegap dengan kalung lencana menatap gusar juniornya yang sibuk membolak-balik halaman dokumen investigasi.

"Benar, Ndan. Penyebab utama ledakan mobil itu adalah bom yang serpihannya kita amankan sebagai barang bukti." Bian membenarkan posisi kacamatanya, menghela nafas kasar kemudian melanjutkan kalimatnya, "Siapapun pelakunya, dia pasti bukan orang sembarangan, Ndan. Karena dia tahu pasti apa yang dia lakukan."

Johnny mengangguk. Kepalanya ikut berdenyut mengingat kasus yang ia tangani sedang hangat dibicarakan. Semua orang menyoroti kasus kematian Burhan Enggar Wicaksono yang janggal. Sudah beberapa hari ia dan rekannya tidak bisa hidup tenang karena terus diserbu wartawan dan dimintai keterangan atas kelanjutan investigasi yang tak kunjung menemui titik terang karena tidak ada CCTV maupun saksi saat kejadian.

"Istrinya gimana? Kooperatif nggak?" Johnny mulai menanggapi, menyaring segala informasi dan memikirkan segala kemungkinan. Mengingat beberapa hari sebelum kejadian, korban sempat terlibat cekcok dengan Laras-istri korban.

"Kooperatif dan nggak mencurigakan, Ndan. Laras saat kejadian memang sedang berada di rumah. Sekarang juga beliau bersikap kooperatif dan mendukung penyidikan," ujar Bian.

"Oke, Bin. Perketat keamanan Laras. Karena mungkin hanya dia dan Suryo kunci dari kasus ini bisa terungkap." Johnny melonggarkan dasinya, merapikan berkas dan melenggang pergi. Diikuti dengan Bian di belakangnya yang belum saja selesai menyeruput kopi.

***

Sementara itu di malam yang sama di tempat berbeda, dengan hiruk pikuk dan cahaya menyilaukan diskotek, Tio duduk dan menikmati minumannya yang entah sudah gelas ke berapa. Yang anehnya tak kunjung menghilangkan kesadarannya.

"Ah elah, bro, masih aja lo pikir. Luruskan pandangan, masih banyak cewe ngantri di hadapan." Hans menepuk pundak sohibnya itu.

"Bacot. Yang gue mau cuma Lyn, bukan yang lain." Tio meneguk minumannya lagi. Meski sudah bekerja seharian mengalihkan pikiran, ia tetap tidak bisa melupakan kekasihnya itu. Ralat. Kakak iparnya.

Seharusnya Tio segera pulang mengingat besok adalah hari penuh kesibukan. Ia harus mempersiapkan meeting penting demi memenangkan tender. Bisa dibilang, tender ini adalah penentu hidup dan matinya. Karena jika Tio gagal kali ini, maka ayahnya tidak akan memberikan akses perusahaan dan mencopot posisinya. Namun Tio terlampau kacau. Jangankan mengurus perusahaan, ia sedang sangat sibuk membenahi urusan hatinya yang masih sangat berantakan.

"Bro, gue ada ide." Hans menaruh gelasnya, membeberkan rencana gilanya yang bagi Tio cukup jenius dan berhasil membuat pria patah hati itu tertawa untuk pertama kalinya setelah sekian lama.

"Boleh juga ide lo. Siapin semuanya, biar gue atur sisanya." Tio menarik ujung bibirnya sekali lagi. Mulai membayangkan jika Lyn menjadi miliknya sekali lagi.




*Bersambung*

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Abience Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang