Hujan

64 20 4
                                    

Awan mendung menghiasi langit sore ini, dengan perlahan rintik rintik air mulai berjatuhan dari atas sana. Nampaknya langit sedang sedih sehingga tidak mampu lagi menahan derasnya air yang ingin segera ia tumpahkan.

Suara bel pulang sekolah menggema disudut penjuru sekolah menengah atas di kota Bandung sebagai tanda kegiatan belajar mengajar sudah selesai. Banyak murid yang mulai keluar dari kelas mereka masing masing, namun banyak juga yang masih berdiam diri dikelas maupun koridor seraya berbincang bincang dengan siswa siswi yang lainnya, mulai dari membicarakan tentang mata pelajaran, ekstrakurikuler, rapat organisasi, atau bahkan saling bercanda gurau mengenai momen momen lucu yang mereka alami dalam satu hari ini.

Suara langkah kaki mendekati meja seorang gadis yang sedang memasukkan buku buku pelajaran ke dalam ransel biru mudanya. "Van, udah selesai belum? Ayo cepetan, keburu hujan." Ucap gadis berkuncir kuda dengan jepit berwarna merah muda kepada temannya yang masih tetap fokus memasukkan buku buku nya.

Dirasa semua buku sudah masuk ke dalam ransel nya, gadis yang dipanggil dengan nama "Van" tadi segera menggendong ransel miliknya.

"Udah kok, ayo." Ucapnya.

Lalu kedua gadis itu melangkahkan kakinya keluar dari kelas yang tadi mereka tempati. Baru saja beberapa langkah sampai di koridor depan kelas, suara gemuruh petir menggema disertai angin dan derasnya air hujan yang jatuh dari atas langit.

"Yah udah keburu hujan, mana deras banget lagi. Nyesel deh gak ngikutin kata mama yang nyuruh bawa mantel tadi pagi." Keluh gadis berkuncir kuda sambil mengecurutkan bibirnya kedepan sambil menghentakkan kakinya.

"Ya bukan kamu aja, aku juga gak bawa mantel kok Jana." Timpalnya kepada gadis berkuncir kuda yang perlu kita ketahui bernama Renjana Andhira, gadis yang mempunyai hasrat yang menyala kuat dan pemberani.

"Yaudah Van, sambil nunggu hujannya reda kita neduh dulu aja di lobby." Ucap Renjana kepada temannya, Lavanya Arshavina gadis cantik yang sangat menyukai instrumen musik.

Keduanya lalu berjalan beriringan menuju lobby yang jaraknya lumayan agak jauh dari tempat mereka berdua tadi berdiri, dimana mereka harus melewati beberapa kelas untuk sampai kesana.

"Sebetulnya gak perlu neduh juga gakpapa lho Jan, enak tau hujan hujan apalagi pakai seragam sekolah." Celetuk Lavanya sembari memegang tali ranselnya sembari tersenyum membayangkan dirinya menikmati hujan sore ini bersama dengan temannya, Renjana.

"Kamu kan suka hujan Van makanya segala aktivitas kamu waktu hujan turun itu pasti buat mood kamu naik, salah satunya ya dengan hujan hujan. Tapi untuk sementara waktu, hujan hujan nya dipending dulu ya? bisa kan? nanti kamu sakit, apalagi ini udah masuk minggu dimana banyak banget Ulangan Harian." Jawab Renjana membuat pupus harapan Lavanya ingin menikmati hujan dengan berboncengan menaiki motor Vespa Matic biru muda miliknya mengelilingi kota Bandung dengan temannya satu itu.

"Huft, tapi-" Ucapan Lavanya terpotong dengan suara nyaring milik Renjana "Udah gak ada lagi tapi tapi, pokoknya kamu harus nurut sama aku!" Ujar Renjana lalu berlari ke kanan ke kiri sambil bernyanyi lagu milik Hivi yang berjudul Remaja.

Sementara itu Lavanya yang melihat temannya mulai menjauh dari pandangannya berniat untuk mengejar, namun tidak sengaja saat dirinya berlari kecil netranya menangkap lelaki berbadan tinggi, berkulit sawo matang, sedang berjalan sambil memakai airpods di telinganya melewati sisi samping kanan dimana dia sedang berdiri sekarang, tanpa sadar dirinya berhenti sambil memandangi lelaki itu.

Ketika lelaki itu sudah melewatinya Lavanya tersadar, wangi itu mengingatkannya tentang hari dimana dia dan lelaki itu bertemu.

Bimantara Abhipraya, sosok yang begitu sempurna menurut Lavanya Arshavina. Jago bermain musik, Futsal, dan juga Bulu Tangkis. Bahkan dirinya merupakan salah satu siswa yang berprestasi. Sungguh, menurut Lavanya tidak ada lagi sosok yang lebih sempurna dibandingkan Bimantara, Bima adalah salah satu manusia yang sangat Lavanya sesali karena mengapa dirinya harus bertemu dengan Bima disaat masa masa terakhir dirinya berada di Sekolah Menengah Atas.

Namun selain itu, Lavanya juga mulai menyadari bahwasanya dirinya dan Bima memang ditakdirkan untuk tidak bisa bersama.

Tapi, jika semesta tidak bisa membuat mereka bersama mengapa harapan harapan kecil itu muncul disaat Lavanya tidak lagi mengharapkan Bima?

Lavanya mulai tersadar dan mulai melangkahkan kakinya menyusul Renjana, seharusnya dirinya tidak perlu terlalu mengangumi Bima sampai menjadi patung seperti tadi, hanya karena memandang kagum lelaki sempurna itu lewat didekatnya.

Sesampainya di area Lobby netranya mencari sosok Renjana yang dengan santai meninggalkan dirinya secepat itu. Lalu mata coklatnya melihat Renjana sedang melihat lihat mading sekolah, yang memang disediakan diberbagai tempat di SMA Bhakti Buana dimana salah satunya terletak di Lobby. Lalu langkah kecil Lavanya menghampiri Renjana, "Lihat apa Jan?" Tanya nya.

"Ini, aku lihat informasi Bima anak kelas 11 yang baru aja menang lomba debat bahasa Inggris yang di adain sama Mahasiswa Program Studi Sastra Inggris Universitas Padjadjaran pekan lalu." Jawabnya sambil menunjuk papan mading didepannya yang menunjukkan foto seorang laki laki sedang tersenyum sembari membawa piala.

Arah pandang Lavanya yang tadinya melihat Renjana mengalihkan pandangannya ke mading yang berada didepannya.

"Sempurna banget ya Bima?" Ucapnya tanpa sadar.

"Iya, sempurna. Beruntung gak sih kamu Lav setidaknya setelah kita lulus nanti masih ada bibit bibit unggul yang nantinya bisa majuin sekolah ini?" Tanya Renjana

"Beruntung.. beruntung banget." Jawab Lavanya seraya tersenyum simpul, seakan akan jawabannya tadi mengandung sebuah arti. Renjana hanya bisa menatap bingung Lavanya.

Hujan deras masih saja mengguyur kota Bandung dengan amat derasnya, Lavanya dan Renjana memilih untuk duduk dikursi samping Mading yang memang disediakan sekolah. Keduanya saling bertukar cerita tentang hal hal apapun yang mereka alami dari tadi pagi sampai sore hari ini.

Saat renjana ingin melanjutkan ceritanya, tiba tiba lelaki berbadan tinggi muncul dihadapannya. Abimanyu Gaspati, sepupu Renjana itu memang seperti tamu tidak diundang, tiba tiba datang tanpa ada yang mengundang.

"Kenapa belum pulang Jan?" Tanya Abi.

"Haduh, apa kamu gak lihat itu masih hujan? Mana deras banget? Yakali mau nekat? Kan aku berangkat nya sama Lavanya." Jawab Renjana sambil menahan kesal, sungguh basa basi yang sungguh basi.

"Tadi tante Shofia telpon aku, nanyain kenapa kamu gak bales pesannya gitu." Ujar Abi

"Oh iya aku lupa, ponselku tadi lowbat."

"Yaudah pulang sama aku aja soalnya tante Shofia udah nanyain, toh aku tadi berangkat bawa mobil." Pinta Abi kepada Renjana.

"Terus Lavanya gimana dong? Yakali aku tinggalin gitu aja?" Tanya Renjana.

"Eh? Santai aja, hujannya paling bentar lagi reda, kamu pulang dulu aja Jan. Aku bisa nunggu sebentar, lagian masih banyak juga yang masih belum pulang, Tante Shofia juga udah nyariin kamu kan?" Ucap Lavanya sambil tersenyum tipis berusaha meyakinkan Renjana.

"Bener nih gakpapa?" Tanya Renjana, memastikan.

"Iya gak papa."

"Yaudah, aku sama Abi duluan ya Lav. Kamu nanti pulangnya hati hati." Pamit Renjana lalu berdiri dari duduknya.

"Aku duluan ya Lav." Ucap Abi.

"Iya, hati hati ya kalian." Jawab Lavanya sambil tersenyum, lalu Abi dan Renjana berjalan pergi menuju parkiran sekolah.

Sekitar 10 menit setelah kepergian Abimanyu dan Renjana, hujan masih saja belum mulai mereda, nampaknya langit masih terus saja ingin menumpahkan seluruh air matanya. Lavanya memutuskan untuk berjalan tanpa arah mengelilingi sudut sekolah.

Dirinya mulai melewati kelas kelas yang masih saja banyak orang yang ada didalamnya, ada yang masih melaksanakan piket kelas, latihan presentasi dengan proyektor yang menyala menampilkan rumus rumus kimia, dan juga masih banyak yang lainnya. Lalu langkahnya tiba tiba terhenti didepan Ruang Musik, netra coklat nya melihat seorang laki laki sedang memetik gitar miliknya sambil menyanyikan sebuah lagu yang dia tahu judulnya "Mimpi yang sempurna - Peterpan".

Pada saat lirik terakhir dan gitar berhenti dipetik, Lavanya tanpa sadar bertepuk tangan disertai dengan senyum manisnya melihat ke arah laki laki tadi. Mendengar ada suara tepuk tangan, pandangan laki laki itu menengok ke sumber suara. Tatapan mata mereka bertemu, layaknya ikan yang menyelam ke dalam lautan yang begitu dalam. Lavanya kembali larut kedalam tatapan mata milik lelaki yang berada dihadapannya.

Merapah Akara Bumi PasundanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang