Gadis itu menatap sendu orang-orang tersebut. Dengan wajah pucat disertai genangan air mata di ujung kelopak. Nadi berdenyut ngilu, disertai dengan hati yang terasa seperti tertusuk.
Nirmala bungkam, ketika mendengar berbagai celotehan lucu yang Asih lontarkan. Mereka tertawa namun tidak dengan dirinya.
Tak ada yang bisa menarik lengkung tawanya bahkan untuk menampilkan sedikit, terkesan pelit. Nyatanya memang tak ada dan tak pernah tersisa. Baginya, untuk membuka mulutnya sedikit saja rasanya kaku.
"Rinda anak yang pintar, dia memenangkan paduan suara yang di gelar di sekolahnya."
Asih tersenyum bangga membuat yang lain, ikut merasa senang dengan kabar tersebut."Tidak seperti Nila, pemalu dan susah sekali. Lebih baik kamu berdoa lebih cepat pada Tuhan supaya diberikan jodoh."
Mereka semua tertawa sementara Nirmala hanya terdiam, tidak nyaman dengan pembicaraan tersebut. Umurnya masih terlalu dini untuk hal tersebut dan di umurnya yang sekarang, ia tak bodoh dengan hal semacam itu. Asmara, intimasi dan hubungan sakral yang selalu di dambakan.
Dirinya tak mau pergi dari satu kekangan ke pelukan yang salah lagi. Keluarga baru tak menjamin kebahagiaan, bahkan untuk sebuah aman rasanya harus dibayar mahal.
"Aku kemarin memenangkan lomba resensi Eyang, itu lomba individual berbeda dengan Rinda yang berkelompok."
Asih hanya melirik sekilas begitupun dengan yang lain, lalu melanjutkan kembali obrolan keluarga yang pada saat itu hanya meninggalkan dengung di telinganya.
Di acuhkan lagi, Nirmala hanya bisa tersenyum pahit dengan rasa canggung yang menguasai diri. Entah kenapa terasa memalukan, padahal dirinya tak melakukan hal buruk yang bertentangangan dengan moral dan norma. Sementara di ujung sana, Rinda tertawa sembari tersenyum dengan penuh semangat menceritakan hari normalnya yang membosankan.
Mereka memasang telinga erat-erat. Mendengarkan dengan seksama layaknya tak ingin tertinggal hal yang paling menakjubkan di dalam hidup mereka.
Kepalanya berdenyut ngilu, di sertai dengan kerongkongan yang terasa kering karena berusaha menahan tangisnya yang sudah berada di ujung. Wajah tertunduk lesu disertai wajah masam. Seperti biasa, hanya meninggalkan rasa hampa di tubuhnya yang bernyawa.
Dengan gontai, Nirmala naik ke kamarnya meninggalkan mereka semua yang tidak peduli dengan kehadirannya. Persetan dengan Bahtera serta Galuh. Mereka berdua selalu absen di setiap perkumpulan seperti ini. Sepertinya mereka melakukan hal tersebut karena tidak mau merepotkan diri untuk membelanya atau berpura-pura peduli dengan kondisinya.
Katanya harus terbiasa, karena begitulah rasa tak nyaman beranjak dewasa.
Katanya harus mengerti, karena begitulah orang tua ingin selalu di pahami.
Katanya harus memaafkan, karena begitulah aturan tak tertulis untuk seorang anak yang di lahirkan.
Tidak ada yang lebih nyaman ketimbang berdiam diri seorang diri di malam hari yang gelap. Dewi malam terlihat selalu gemilang, benaknya bertanya kapan ia harus pulang. Hati kecil menjawab, bahwa ia akan selalu hilang. Terkunci di ruangan tanpa ujung yang bernamakan elegi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Someone Daughter
Romance"i came here to become daughter not a bride." Nirmala bahagia atas pernikahan ayah serta ibu tirinya, tetapi ia benci keluarga barunya. Lebih tepatnya, posisi-dirinya sebagai seorang anak perempuan yang tidaklah menguntungkan. Desmond Soren Damétra...