15. Play With Fire

371 23 0
                                    

'I thought I was a fool for no one. Oh baby, I'm a fool for you.'

-Muse-

***

Begitu sampai di dermaga Little Venice, Heath mendengar teriakan seseorang tengah menjerit histeris. Perempuan paruh baya bergaun corak bunga menunjuk ke arah pantai di mana ada anak sedang berusaha menyelamatkan diri dari ombak yang lamat-lamat menyeretnya ke tengah.

Pupil Heath membeliak dan instingnya mendorong kaki lelaki itu melompat tuk menyelamatkan bocah kecil tersebut. Sekuat tenaga dia mengayuh tungkai juga tangan mendatangi si anak dengan satu pikiran.

Jangan sampai tewas.

Jangan sampai tewas.

Jangan sampai tewas,

Ombak yang cukup kuat di sore hari mengakibatkan Heath agak kewalahan. Dia berusaha mencapai tangan anak yang sudah terlihat lemas, namun beberapa kali riak laut yang tidak bisa diprediksi menariknya menjauh. Lagi dan lagi.

"Wait!" seru Heath makin tegang manakala si anak tak terlihat di mata.

Heath menyelam, berenang lebih keras sampai akhirnya mendapatkan tubuh mungil perempuan berusia sekitar dua belas tahun. Dia muncul ke permukaan, meraup udara sebanyak mungkin seraya melingkarkan sebelah lengan di dada si bocah yang tak sadarkan diri. Orang-orang di bibir pantai berbondong-bondong menyambut aksi heroik Heath sementara yang seseorang tengah menelepon bantuan terdekat.

Dengan napas putus-putus, Heath membaringkan tubuh gadis kecil tersebut di atas pasir putih lantas memeriksa detak jantung juga pernapasannya. Tidak teraba. Dia mengumpat pelan lalu mendongak, "Aku dokter Heath Alonzo. Ada yang sudah menelepon ambulans?" Heath memosisikan diri melakukan pijat jantung.

"Sudah, Tuan. Mereka akan ke sini secepat mungkin," sahut lelaki berkumis merangkul perempuan paruh baya yang menangis sesenggukan. Heath menebak jika mereka adalah orang tua si anak. "Tolong selamatkan, putriku, Darla."

Bagai bertaruh bersama malaikat pencabut nyawa, Heath memandangi wajah pucat si anak lalu memberi napas buatan. Dalam hati, dia bermunajat, memelas kepada semesta agar jangan sampai gadis tak berdaya ini tewas sia-sia sampai meninggalkan trauma dalam bagi orang tua.

Dua puluh sembilan

Tiga puluh

Lagi-lagi Heath memberikan bantuan oksigen hingga gadis itu terbatuk-batuk mengeluarkan air dari mulut. Dia merintih pelan memanggil ibunya dengan bibir gemetaran membuat Heath langsung bernapas lega. Gadis itu mengerjap-ngerjapkan mata, menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina lalu meringik kedinginan.

"Handuk. Siapa saja tolong bawakan handuk dari sana!" perintah Heath menunjuk deretan kursi jemur. "It's okay, Dear. It's okay. Kau aman." Jemarinya meraba-raba untuk mencari kemungkinan cedera leher atau kaki. "Siapa namamu, Sayang?"

"Darla."

"Mana yang sakit, Dear?"

"Ka-kakiku ..." Darla mengangkat tangannya lemah menuding kaki kirinya. "Kakiku kram..."

"It's okay, Dear. Sebentar lagi kau akan dibawa ke rumah sakit, oke?"

Beberapa orang menyerahkan lima handuk kepada Heath yang langsung dibalutkan ke tubuh basah bocah itu. Tak berapa lama, sirene menggaung keras kian dekat. Tiga orang petugas first aid berlari seraya membawa tandu mendatangi Heath.

"Darla. Sekitar dua belas tahun. Korban nyaris tenggelam, kemungkinan karena kram kaki. Sempat mengalami henti napas dan henti jantung, tapi sekarang kondisinya berangsur membaik." Heath melapor pada pria berkacamata selagi mengawasi Darla dipindah ke tandu.

"Terima kasih. Apa Anda seorang dokter?" tanya pria itu yang dibalas anggukan Heath.

"Ya, cepatlah bawa anak itu ke rumah sakit. Orang tuanya di sana," tunjuk Heath ke arah pasangan suami-istri yang menangis haru anaknya berhasil diselamatkan.

Riuh tepuk tangan menggema saat orang tua Darla memeluk Heath penuh rasa terima kasih. Mereka berkata bahwa tidak akan bisa melupakan kebaikan sang dokter. Heath mengangguk dan menyuruh mereka segera mengekori petugas first aid menuju rumah sakit terdekat.

Di antara puluhan orang-orang yang sibuk berkusu-kusu menilai tindakan sigap Heath, Poppy yang sedari tadi memerhatikan lelaki itu dari kejauhan tercenung. Antara kagum sekaligus penasaran. Bukan tanpa alasan dia beropini demikian, sebab Poppy menangkap ada sesuatu yang disembunyikan dari balik iris abu-abu gelap Heath. Jika ditilik kembali, Poppy merasa ada hubungannya terhadap sikap Heath yang bersungut-sungut kepadanya karena tak memakai pelampung.

Kenapa dia sampai semarah itu?

Apa yang kau rahasiakan, Heath?

Seisi dunia berhenti bergerak manakala pandangan mereka bertemu. Dari sini Poppy mengendus sebuah luka menganga yang sengaja ditutup-tutupi Heath melalui ekspresi datar juga sorot mata tajamnya. Semacam ada duka berbaur kesedihan. Poppy ingin tahu kenapa tapi tak mampu meraba bahkan menyusup ke benteng pertahanan Heath jikalau selalu mendapat penolakan keras.

"Heath." Poppy membiarkan dirinya dibawa Heath kembali ke hotel.

Tanpa ada perlawanan.

Tanpa ada perdebatan.

Cengkaman tangan Heath yang posesif menyiratkan kemarahan sekaligus kekecewaan, entah karena permasalahan di antara mereka belum selesai atau mungkin dampak tak langsung dari menolong bocah tadi.

Tidak ada perbincangan selama perjalanan menuju hotel. Tidak ada tawa yang didengar Poppy layaknya di pulau Rhenia. Pun tidak ada kelembutan seperti yang ditunjukkan Heath saat menuntunnya menyusuri garis pantai.

Segalanya terasa kaku.

Bahkan ketika Poppy nyaris tersandung kakinya sendiri, Heath hanya menoleh sekilas sembari mencebik menyuruh gadis itu bergegas.

Sesampainya di hotel, Heath yang biasanya bersikap ramah kepada staf, melintas begitu saja menuju lantai dua membuat pria eksotis di meja resepsionis kebingungan. Begitu pula saat tiba di kamar, Heath membanting pintu tanpa memedulikan jika fasilitas penginapan ini bakal rusak.

"Kemasi barangmu dan pergilah ke teman-temanmu, Pearson!" Heath menggeret koper Poppy dan menendangnya ke arah gadis itu.

Apa?

Merasa tersinggung, Poppy menyingkirkan koper dan bersedap menatap nyalang Heath. "Apa ini caramu memperlakukanku?"

"Bukankah kau hanya menumpang? Kau bahkan tidak mengindahkan peringatanku, Pearson!" seru Heath berkacak pinggang.

"Heath, kau masih marah? Serius?" Poppy terhenyak kaget kemudian mengusap wajahnya frustrasi. "Oh fuck ... itu hanya teluk. Ombaknya tidak akan membunuhku!"

"Kau terlalu meremehkan segalanya, Pearson!" bentak Heath menunjuk hidung Poppy dengan mata melotot dan muka merah padam. "Apa kau tidak lihat bocah yang hampir tewas tadi? Tidakkah kau membayangkan andai saja itu dirimu, Poppy. Bayangkan jika tidak ada yang menolongmu-"

"Heath! Kau berlebihan oke!" hardik Poppy. "Kami berbeda. Aku jauh lebih bisa berenang-"

"Perenang handal pun bisa tewas kalau alam menghendakinya, Pearson! Gunakan sedikit otakmu itu!" Heath mengetuk-ngetuk pelipisnya penuh kemurkaan. "Apa kau tidak memikirkan Joey? Memikirkan posisiku yang sialnya harus mengurusi berandal sepertimu, hah!"

"Enough!" pekik Poppy. "You're fucking annoying!" Dia pergi ke kamar mandi sekadar mendinginkan kepala daripada terus-menerus bertengkar tiada ujungnya.

***

Baca bab ini secara utuh di Karyakarsa karena mengandung smut scene. Di sana sekitar 2500 kata.

Lie With Me, BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang