🌰37🌰

125 24 33
                                    

Tanpa terasa dua bulan sudah berlalu, malam ini adalah Gethok Dina untuk menetapkan hari baik untuk melangsungkan pernikahan antara Manto dan juga Runi.

Caranya adalah tentukan nilai (Neptu) hari kelahiran dan hari pasaran Jawa kedua calon mempelai, jumlahan Neptu kedua calon mempelai dan hasil penjumlahan weton.

Bagi orang jawa weton kelahiran itu cukup tabu untuk diberitahukan kepada orang lain, takutnya bisa dijadikan alat untuk mengirim santet dan sejenisnya.

Kakek dari Manto mendadak kaget melihat hasil hitungannya, "sujanan," wajah Manto berubah lesu, bagaimana bisa hasil hitungannya sujanan sedangkan Runi yang tidak tahu arti dari kata itu hanya bisa ngang ngong.

"Artinya apa bang messi?" tanya Runi kepada bapaknya, Pak Andi malah menggeleng tak mau memberitahukan artinya kepada anaknya.

"Bagaimana Nak Manto, apa kita batalkan saja ini semua?" tanya kakek kepada cucu laki-lakinya itu, tak mau menyerah begitu saja dengan hitungan weton itu.

Manto tetap teguh pada pendiriannya, "apapun hasil hitungan nya, saya akan tetap maju saja Mbah. Resiko dalam berumah tangga memang tak semulus yang dibayangkan, Insya Allah saya bisa menghadapi masalah yang datang kelak," jawab pria Londo itu, mantap dengan keputusannya yang akan tetap melanjutkan hubungan ini.

Dua minggu setelah Idul Fitri, pernikahan sederhana antara Runi dan Manto pun diselenggarakan di rumah mempelai wanita. Suara riuh kata 'sah' dari para saksi terdengar bersuka ria, namun tidak dengan si pengantin wanita, Runi.

Dirinya menampilkan wajah tak suka dengan semua yang telah terjadi hari ini. Sedang Manto dengan senyum ramahnya mengulurkan tangannya kepada istri sah nya, namun ternyata ulurannya tidak disambut sama sekali oleh Runi.

Gadis itu benar-benar memalingkan wajahnya tak sudi mencium tangan pria yang sudah menikahinya itu, merasa canggung karena tangan tak juga diterima oleh Runi, Manto memilih menarik tangannya kembali dengan senyuman getir.

Setelah acara pernikahan selesai dan para tamu undangan sudah pulang, Runi langsung masuk ke kamar sambil membanting pintunya keras-keras. Kalau sampai seperti itu berarti Runi sedang marah besar, ini pertama kalinya orang tuanya mendengar putri keduanya melakukan hal itu.

"Maaf, Pak, Bu. Ini semua kesalahan saya yang terlalu buru-buru menikahinya," rasa bersalah terus menyelimuti hati Manto, pria itu seperti tidak yakin kalau cintanya bakal diterima dengan ikhlas oleh istrinya, Runi.

"Tak apa, Nak Manto. Coba kamu bujuk dia baik-baik, buka saja pintunya dia tidak pernah mengunci pintu kamarnya walau didalam ada kuncinya sekalipun." Mendengar perkataan Pak Andi, Manto memberanikan diri untuk menghampiri gadis itu.

Suara ketukan terdengar di pintu kamar namun tak ada jawaban dari penghuni kamar itu. Dalam hatinya Manto berharap kalau pintu itu tidak dikunci oleh Runi, "permisi, saya izin masuk ya."

Suara jangkrik mengisi sunyinya kamar itu, padahal didalam ada orang yang lagi tiduran terbungkus selimut. "Runi, kamu boleh marah sama saya tapi jangan marah kepada orang tuamu, maafkan saya karena terburu-buru menikahimu tanpa menunggu kesiapanmu. Walau untuk saat ini kamu belum bisa menerima saya sebagai suamimu itu tidak masalah, saya bisa menunggu."

Setelah Manto mengoceh panjang lebar tapi tak ada respon dari istrinya, minimal tampar pipi kalau tidak setuju ucapannya tadi. Dia mencoba menepuk punggung Runi namun tidak ada reaksi apapun, giliran di intip dari balik selimut ternyata gadis itu tertidur.

Behind Hazel Eyes (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang