Wibi -1

59 7 0
                                    

Wibi's PoV.

Saya menatap sebuah amplop yang tergeletak di atas meja setelah mengambil jam tangan dari tempat itu. Amplop berwarna merah keemasan yang entah sejak kapan dan siapa yang menyimpannya di sini. Perlahan saya mengambilnya, membuka dan mengeluarkan isinya dengan bertanya-tanya. Sebuah undangan dengan dua nama yang sangat saya kenal ada di sana.

Sudah enam bulan sejak kejadian waktu itu, saat saya memergoki keduanya sedang saling mencium satu sama lain di rumah Chiko. Saya kira kedekatan mereka hanya sebatas karena Chiko salah satu teman saya dan Wanda adalah tunangan saya. Keduanya orang-orang terdekat yang sangat saya sayangi. Namun ternyata saya salah.

Saya tak bisa mempertahankan hubungan yang bahkan sebentar lagi akan saya bawa selamanya. Saya terpaksa membatalkan semua rencana yang telah saya susun sedemikian rupa untuk masa depan kami berdua. Sampai saya berjanji pada diri saya sendiri, saya tak akan mungkin menemukan orang lain yang seperti dia, yang akan saya ajak menghabiskan waktu bersama. Tapi lihat mereka! Mereka bahkan mengirimi saya undangan seperti ini yang mungkin dengan sengaja menunjukkan bahwa takdir merekalah yang menang, dan saya kalah.

Undangan itu saya banting kembali ke atas meja dengan kencang, lantas beranjak keluar kamar menuju beberapa orang yang sedang merapikan kediaman saya dan Oppung. "Tolong beresin barang-barang saya ya, Bi. Nanti masukin ke dalem koper."

"Iya, Mas," jawabnya sambil mengangguk.

"Makasih, Bi."

Oppung menelepon puluhan kali saat saya bilang pada beliau bahwa saya hendak tinggal sendiri untuk menjernihkan pikiran. Beliau tentu tidak setuju karena kami sudah tinggal bersama dalam waktu yang cukup lama, namun tiba-tiba saja beliau mengiyakan saat saya bilang saya sudah membeli satu unit apartemen hari itu.

"Kali ini Oppung ngerti, kamu juga butuh waktu dan ruang sendiri. Tapi nanti tolong dengerin Oppung baik-baik, Oppung gak mau nyalahin kamu waktu Oppung bilang gak suka sama pacarmu itu."

"Iya, makasih Oppung atas pengertiannya."

"Kamu bisa hidup sendiri?" tanyanya dan membuat saya sedikit terdiam. Secara harfiah memang saya sudah dewasa, bahkan sudah kepala tiga. Seharusnya saya sudah bisa tinggal sendiri dan merawat diri saya sendiri.

Namun ternyata tinggal sendiri tidak semudah itu. Saya belajar untuk membereskan rumah sendirian, mencuci, menjemur, menonton film, bahkan menikmati keheningan saat larut malam hingga mata terpejam. Saya juga berbelanja bahan makanan sendiri setelah mengalami momen kelaparan dan tak mendapatkan layanan pesan antar karena sudah dini hari waktu itu. Satu lagi pelajaran berharga yang saya dapat.

Namun ternyata berbelanja cukup menyenangkan. Saya bisa melihat dan memilih berbagai macam produk yang ada di sana mulai dari hal-hal kecil seperti sabun cuci, merk mie instan, daging, dan bahkan buah-buahan. Selama ini saya hanya memakan buah yang sudah tersedia di rumah tanpa tahu yang seperti apa dan harus bagaimana memilihnya.

Sudah tiga puluh menit saya habiskan di depan bak besar berisi buah jeruk kesukaan saya hanya untuk melihatnya satu per satu dengan teliti. Di depan saya ada seorang perempuan yang juga sedang memilih sambil berbicara dalam sambungan telepon. Ia tampak mengambil, menyentuh kulitnya, memutar buah itu, mengecek tangkainya barulah memasukkannya ke dalam kantong plastik di tangannya yang lain. Rata-rata buah yang berhasil lolos masuk ke dalam adalah buah dengan kulit tebal dan mengkilap. Lalu secara tekstur pun lebih halus, dan permukaan bagian tangkai sedikit cekung dengan tampilan yang masih bagus. Menarik. Saya sampai harus sedikit mendekat untuk melihatnya baik-baik, lalu memenuhi plastik saya dengan buah jeruk yang sesuai kriteria.

Perempuan itu tak memperhatikan sekitar hingga tak sengaja kami bertubrukan. Saya hanya mengangguk singkat saat ia meminta maaf dan segera berjalan menuju kasir untuk membayar. Kalau dipikir-pikir, rasanya wajah itu tidak asing dan saya pernah melihatnya entah di mana. Tak lama kemudian, saat saya memasukkan semua belanjaan ke dalam mobil, perempuan itu tampak berlari menuju seorang lelaki yang saya kenal baru-baru ini, tetangga dari unit sebelah.

FatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang