10. Beruntung

49 6 0
                                    

Hari ini hari libur, jadi aku tak perlu lagi meminta izin untuk kembali beristirahat di rumah barang sehari. Badanku rasanya sudah jauh lebih baik, obat yang dibeli Mas Wibi kemarin benar-benar manjur dan membuat tidurku nyenyak setelah kenyang menangis sore harinya. Sebenarnya agak sedikit malu bagiku karena kemarin aku membuat kemejanya basah karena ingus dan air mata, dan itu pertama kalinya aku dipeluk Mas Wibi. Aku menganggapnya sebagai rasa simpati lelaki itu karena segala kesedihan yang telah kuceritakan padanya kemarin. Tak lebih, tak boleh lebih. 

Sejak tadi kudengar suara-suara bising dari balik kamar sedangkan aku baru selesai mandi setelah kemarin bau keringat seharian. Ugh, Mas Wibi pasti tidak nyaman juga mencium bau keringatku kemarin.

Baru saja membuka pintu, tiba-tiba kulihat ada sosok Oppung yang sudah duduk di sofa ruang tamu. Beliau bersama seseorang sedang menikmati dua cangkir teh yang tampak sudah disediakan Mas Wibi, sedangkan asistennya berdiri di samping sofa. Kini mereka bertiga menatap ke arahku dan membuatku salah tingkah.

"P-pagi Oppung," sapaku dan berjalan menghampiri lalu duduk di samping Mas Wibi.

"Kamu kok keluar dari kamar itu? Kalian gak tidur bareng?" tanya Oppung dan langsung membuat kami terdiam.

"Anu, saya kan lagi sakit, jadi takut menularkan ke Mas Wibi," jawabku cepat.

"Makanya Oppung ajak dokter kepercayaan Oppung ke sini." Beliau mengangguk ke arah orang itu yang kemudian beranjak duduk ke dekatku lantas membuka peralatan yang ada di tasnya seperti stetoskop dan alat tensi darah. Entah Mas Wibi yang mengabarinya bahwa aku sakit, atau mungkin beliau memang memiliki banyak mata-mata hingga bisa tahu segala macam informasi dari mana saja.

"Tekanan darahnya rendah, Mbaknya juga kayaknya kecapekan. Saya resepkan obat dan vitamin, ya!" ujar dokter itu sambil membereskan kembali peralatannya.

Aku hanya mengangguk sedangkan Mas Wibi menarik napas lega.

"Kerjaan kamu terlalu berat?" tanya Oppung.

"Kemarin-kemarin emang lagi ada masalah, tapi udah beres kok Oppung," jawab Mas Wibi.

"Oppung gak tanya kamu!"

Mas Wibi melipat bibirnya ke dalam hanya dengan satu bentakan. Sebetulnya aku pun merasa sedikit takut kalau-kalau salah menjawab saat ini.

"Kamu gak becus cari nafkah sampe-sampe istri kamu harus kerja berat kayak gitu? Memang gaji kamu masih kurang?"

Mas Wibi hanya bisa menunduk mendengar perkataan kejam Oppung baru saja. "Saya senang kok sama kerjaan saya. Itu bukan salah Mas Wibi," belaku.

"Wibi minta maaf," gumam Mas Wibi.

Aku menyentuh tangannya agar ia tak merasa bersalah. Oppung melihat ke arah kami dan menghela napas panjang. Beliau kemudian beranjak dari duduknya lalu mengetuk dinding kosong di ruang tamu. "Gak ada foto pernikahan sama sekali! Gak ada barang couple! Pengantin baru macam apa kalian?"

"Oppung sebenernya kami ...."

Kakek tua itu tiba-tiba saja memukul meja dengan tongkat gaharu di tangannya hingga membuat kami semua yang ada di sini terlonjak kaget. Terlebih suara dan cara berbicaranya yang tegas sejak awal, sangat berbeda dengan Mas Wibi.

"Oppung gak mau tau apapun alasannya!" tunjuknya pada kami berdua sebelum akhirnya berbalik menuju pintu. Aku dan Mas Wibi hanya terdiam dan ikut beranjak, mengantar sosoknya menuju ke luar apartemen.

"Kamu tunggu di rumah! Istirahat!" seru beliau saat melihatku menutup pintu untuk ikut mengantarnya menuju parkiran di basement. Aku mengangguk lantas masuk kembali sambil merebahkan diri dengan lemas di sofa.

FatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang